REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Despan Heryansyah menanggapi permintaan maaf resmi yang disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rute kepada Indonesia mengenai penggunaan kekerasan berlebihan oleh militer Belanda selama masa Perang Kemerdekaan 1945-1949. Temuan sejarah menunjukkan Belanda menggunakan "kekerasan ekstrem" dalam merebut kembali wilayah bekas jajahannya termasuk Indonesia pada 1945-1949.
Penelitian ini dilakukan oleh Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (Koninklijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde/KITLV), The National Institute of Mental Health (NIMH), dan NIOD Institute for War, Holocaust and Genocide Studies (Institut NIOD untuk Pembelajaran Perang, Holokaus dan Genosida) dan sejumlah peneliti Indonesia. "Kita semua tahu bahwa ada banyak sekali kejahatan HAM masa lalu yang belum diselesaikan termasuk yang dilakukan oleh Belanda," kata Despan kepada Republika, dikutip Senin (21/2/2022).
Despan merespons positif langkah pemerintah Belanda ini sebagai upaya penuntasan kejahatan masa lalu. Menurutnya, permintaan maaf Belanda menjadi sindiran terhadap Pemerintah Indonesia yang belum melakukan hal serupa terhadap kasus kejahatan HAM masa lalu.
"Kebijakan pemerintah Belanda ini sekaligus menjadi sindiran bagi pemerintah Indonesia bahwa tidak ada yang salah dan tidak memalukan jika negara berani mengakui kejahatan HAM masa lalu," ujar Despan.
Despan menilai permintaan maaf pemerintah Indonesia atas kejahatan HAM masa lalu pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Namun menurutnya hal itu perlu dilakukan bila menggunakan perspektif korban yang masih menderita sampai sekarang.
"Kita harus mengingat bahwa ada korban dan keluarga korban yang masih menanggung dampak sosial, psikologis, ekonomi dan politik dari kejahatan HAM masa lalu itu," ucap Despan.
Despan juga menganggap permintaan maaf pemerintah Indonesia mensinyalkan kebesaran hati negara di hadapan masyarakat. Hal ini menurutnya juga sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam melindungi seluruh tumpah darah Tanah Air.
"Meski pengakuan dan permintaan maaf saja belum cukup, tapi paling tidak itu menjadi awal bahwa negara ini melindungi segenap warganya tanpa terkecuali," sebut Despan.