Ahad 13 Feb 2022 11:00 WIB

KSPI Tegaskan Tolak Aturan Baru JHT Cair pada Usia 56 Tahun

Aturan JHT cair di usia 56 tahun ditolak KSPI.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil
 KSPI Tegaskan Tolak Aturan Baru JHT Cair di Usia 56 Tahun. Foto: Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal berorasi saat aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Senin (7/2/2022). Mereka menyuarakan empat poin tuntutan yaitu penolakan Omnibus Law cipta kerja, mengabulkan presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, revisi UU KPK dan  Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
KSPI Tegaskan Tolak Aturan Baru JHT Cair di Usia 56 Tahun. Foto: Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal berorasi saat aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Senin (7/2/2022). Mereka menyuarakan empat poin tuntutan yaitu penolakan Omnibus Law cipta kerja, mengabulkan presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, revisi UU KPK dan  Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dengan tegas menolak Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Dalam permenaker ini diatur, pembayaran jaminan hari tua bagi buruh yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) baru bisa diambil apabila buruh di-PHK pada usia 56 tahun.

Dengan demikian, Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan, ketika buruh yang ter-PHK berusia 30 tahun, JHT buruh tersebut baru bisa diambil setelah menunggu 26 tahun, ketika usianya sudah mencapai 56 tahun. Said juga mengecam sikap Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) yang telah mengeluarkan permenaker tersebut.

Baca Juga

"Keputusan ini ditolak keras oleh KSPI dan buruh Indonesia, bahkan terkesan bagi para buruh ini menteri pengusaha atau menteri tenaga kerja tidak bosan-bosan menindas dan bertindak tanpa hati dan pikiran dalam membuat peraturan menteri tenaga kerja," kata Said dalam konferensi pers secara virtual, Sabtu (12/2/2022).

Said menilai kebijakan Menaker Ida Fauziyah bersifat menindas buruh dan tidak memperhatikan kondisi di tengah pandemi saat ini. Pasalnya, buruh baru saja dihajar dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan kini harus dihadapkan dengan peraturan tentang JHT.

Said mengatakan, Menaker tidak memperhatikan soal pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang tengah terjadi di negara ini. Apalagi ketika ter-PHK, kata dia, andalan para buruh adalah tabungan buruh itu sendiri atau JHT.

"JHT adalah pertahanan terakhir buruh, pekerja, karyawan, yang mereka ter-PHK akibat pandemi Covid-19 yang sampai hari ini meningkat kembali. PHK itu juga masih tinggi angkanya," ujarnya.

"Menteri ini tahu tidak kalau buruh di PHK pada saat kondisi sekarang, kemudian JHT-nya tidak bisa diambil, karena harus menunggu usia pensiun 56 tahun, terus makan apa buruhnya?" ujar Iqbal.

Said mempertanyakan alasan diputuskannya permenaker ini di tengah kondisi pandemi yang meningkat dan PHK yang masih merajalela. Sementara itu, harapan buruh ketika ter-PHK adalah dalam bentuk JHT, yang merupakan dana amanah para buruh.

"Apa urgensi dikeluarkannya Permenaker No 22 Tahun 2022 di tengah kondisi saat ini? Kemudian, apa jangan-jangan anggaran negara sudah habis, mau ngambil dana dari rakyat dengan hanya bisa diambil di usia 56 tahun untuk JHT?"

Adapun jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), Said mengatakan, tidak semua buruh akan mendapatkan JKP karena aturan itu belum bisa berjalan karena belum ada peraturan pemerintah dan keputusan menteri terkait itu.

Baca juga : Stafsus Menaker: Pencairan JHT Usia 56 Tahun karena Sudah Ada JKP

Selanjutnya, Said juga menyebut bahwa Menaker menjilat ludahnya sendiri dengan adanya Permenaker No 2 Tahun 2022 ini. Pasalnya, aturan sebelumnya bahwa pekerja terkena PHK atau mengundurkan diri atau habis masa kontraknya bisa mencairkan JHT setelah satu bulan resmi tidak bekerja itu adalah instruksi Presiden Joko Widodo.

Sebelumnya, mantan menaker Hanif Dhakiri pernah membuat peraturan bahwa JHT bisa diambil setelah 10 tahun masa kepesertaan. Keputusan itu kemudian menuai gelombang protes dari para buruh dan masyarakat karena saat itu angka PHK juga terlalu tinggi. Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan instruksi kepada Hanif Dhakiri agar mengubah peraturan menteri tentang JHT yang dibayarkan setelah masa kepesertaan 10 tahun tersebut.

"Kalau menteri yang sekarang berdalih ikut menggunakan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Jokowi melanggar undang-undang ketika sebelumnya memerintahkan Hanif untuk mengubah peraturan," kata Said.

Ia mengatakan, angka PHK akibat pandemi masih terasa dan berbagai perusahaan masih terpukul akibat pandemi. Dengan adanya sejumlah peraturan yang dianggap memberatkan kaum buruh ini, Said meminta agar Presiden Jokowi mengganti menteri tenaga kerja.

"Itu menteri pengusaha, bukan menteri tenaga kerja. Oleh karena itu, kami meminta Presiden Jokowi memecat dan memberhentikan menteri tenaga kerja sekarang," katanya menegaskan. 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement