Sabtu 22 Jan 2022 05:00 WIB

Pakar Politik Unair: Pindah IKN Boleh Dilakukan Saat Ekonomi Bagus

Pemulihan ekonomi pasca-Covid-19 dinilai lebih penting daripada pindah ibu kota.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah anak bermain di kawasan yang masuk ke dalam wilayah ibu kota negara baru di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Sabtu (31/8/2019).
Foto: Antara/Akbar Tado
Sejumlah anak bermain di kawasan yang masuk ke dalam wilayah ibu kota negara baru di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Sabtu (31/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) Ali Sahab menanggapi rencana pemindahan ibu kota negara yang memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit. Ali menyatakan, urgensi dari pemindahan ibu kota menjadi hal yang perlu dipertimbangkan. Pasalnya banyak urusan yang lebih prioritas ketimbang pemindahan ibu kota.

“Dalam konteks Indonesia, apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19, ada hal yang lebih menjadi prioritas,” kata dia, Jumat (21/1/2022).

Baca Juga

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) tersebut mengatakan, fokus penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi lebih penting dari pemindahan ibu kota. Kecuali kalau tidak ada Covid-19 dan pertumbuhan ekonomi bagus, pemindahan ibu kota bisa dilakukan.

Pemindahan ibu kota negara, kata dia, merupakan hal yang biasa. Banyak negara yang telah bahkan sering melakukan pemindahan ibu kota negara. Namun pemindahan tersebut dilakukan dalam kondisi perekonomian yang sedang baik.

“Pemindahan IKN boleh dilakukan ketika kondisi perekonomian bagus,” ujar Ali.

Lebih lanjut, ia menyebutkan ada negara yang dapat dijadikan percontohan dalam perpindahan ibu kota negara. Misalnya ketika Malaysia memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya.

Ali melanjutkan, peluang keberhasilan dari pemindahan ibu kota juga menuai banyak pertanyaan. Pasalnya di daerah calon ibu kota baru, akses dan fasilitas masih dianggap belum memadai. Sehingga pembangunan infrastruktur memang dimulai dari nol. “Butuh waktu lama untuk memenuhi itu, apalagi kalau skemanya semua pegawai kementerian diboyong ke sana semua,” kata dia.

Pembangunan ibu kota yang awalnya tidak memakai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ternyata setelah disahkan memakai 53,5 persen anggaran APBN. Menanggapi hal tersebut dosen yang juga pengampu mata kuliah Sistem Politik Indonesia itu melihat ketidaksesuaian dengan konsep awal. “Kalau sekarang memakai APBN, ya sangat disayangkan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement