REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) memastikan mengajukan perlawanan hukum atas putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang memvonis terdakwa Heru Hidayat pidana nol dalam kasus korupsi dan pencucian uang (TPPU) PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI). Padahal, Heru Hidayat dinyatakan bersalah.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengaku sudah memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengajukan banding. Jaksa Agung menegaskan, perlawanan terhadap putusan terhadap Heru Hidayat dilakukan sampai tuntutan semula terpenuhi. Sebab, kasus tersebut dinilai telah merugikan negara Rp 22,78 triliun.
“Terkait putusan perkara ASABRI, saya (Jaksa Agung) telah memerintahkan, Jampidsus, tidak ada kata lain selain banding,” kata Burhanuddin di Kejakgung, Jakarta, Rabu (19/1/2022).
Sebagai pemimpin di lembaga penuntutan, Burhanuddin mengaku menaruh hormat atas putusan majelis hakim tipikor tersebut. Namun, kata dia, ada kejanggalan, dan inkonsistensi dalam putusan tersebut. Bahkan, menurut Burhanuddin, putusan majelis pengadil tersebut, tak memenuhi prinsip keadilan bagi masyarakat.
“Kami, jaksa penuntut umum menilai ada yang kurang. Ada keadilan masyarakat yang terusik dalam putusan hakim tersebut,” kata Burhanuddin.
Dia menerangkan, putusan pidana nol tersebut terasa janggal karena terdakwa Heru Hidayat dinyatakan bersalah, dan melakukan tindak pidana korupsi. “Tetapi hukumannya nol. Nihil,” kata Burhanuddin.
Menurutnya, vonis bersalah, semestinya disertai dengan hukuman pidana yang setimpal. “Dalam hal ini, sesuai tuntutan (hukuman mati),” ujar Burhanuddin.
Kata Burhanuddin, putusan hakim tersebut, pun menjadi tak adil bagi masyarakat. Karena menurut dia, terdakwa Heru Hidayat, dalam kasus korupsi dan TPPU, di PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara Rp 16,8 triliun, divonis bersalah, dan dihukum pidana penjara seumur hidup.
Kemudian kata Burhanuddin, di kasus ASABRI, kerugian negaranya yang lebih besar senilai Rp 22,78 triliun. Tetapi, hakim menjatuhkan pidana nihil, karena alasan adanya hukuman yang sudah jatuh pada kasus Jiwasraya. Burhanuddin menegaskan, dari sisi yuridis, putusan pidana nihil tersebut memang mudah saja diterima. Tetapi, pidana nihil tersebut gambaran dari ketidakadilan atas perbuatan megakorupsi yang sudah terbukti.
“Secara yuridis kita mengerti (pidana nihil). Tetapi, rasa keadilan di masyarakat menjadi sangat terusik. Dan yang kami lakukan saat ini, tidak ada kata lain selain banding,” ujar Burhanuddin.
Pada Selasa (18/1), majelis hakim PN Tipikor Jakarta, memvonis Heru Hidayat, terdakwa korupsi dan pencucian uang (TPPU) ASABRI bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp 22,78 triliun. Akan tetapi, dalam vonis bersalah tersebut tak dibarengi dengan hukuman badan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heru Hidayat oleh karena itu dengan pidana nihil,” kata Ketua Majelis Hakim IG Eko Purwanto, di PN Jakarta Pusat, Selasa (18/1/2022).
Hukuman badan nihil tersebut, dikatakan hakim, karena terdakwa Heru Hidayat telah mendapatkan hukuman badan penjara seumur hidup terkait kasus serupa yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara RP 16,8 triliun.
Karena putusan penjara seumur hidup tersebut, menurut hakim, terdakwa Heru Hidayat tak lagi dapat dikenakan hukuman badan tambahan.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, meski bersalah tapi karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan dalam perkara a quo adalah nihil,” begitu sambung putusan hakim.
Selain menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana nol, majelis hakim juga tetap menghukum bos PT Trada Alam Minera (TRAM) itu dengan pidana pengganti kerugian negara senilai Rp 12,6 triliun. Hukuman pidana mengganti kerugian negara tersebut, sudah sesuai dengan tuntutan jaksa. Tetapi, soal pidana badan, hukuman nihil tersebut jauh panggang dari api. Karena, dalam tuntutannya, jaksa penuntut umum mendesak hakim untuk menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati.
Febrie menjelaskan, dari putusan majelis hakim tersebut, sudah ada tiga alasan formal yang mendesak jaksa melakukan banding. Jika hakim menjadikan vonis dan hukuman Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya sebagai alasan pidana nihil yang menyeretnya menjadi terdakwa dalam kasus ASABRI.
Maka semestinya, dikatakan Febrie, majelis pengadil menjadikan dua kasus tersebut sebagai pertimbangan untuk memperberat hukuman sesuai dengan tuntutan jaksa. Febrie mengatakan, akumulasi perbuatan berulang yang dilakukan terdakwa Heru Hidayat dalam dua kasus korupsi dan TPPU tersebut, merugikan negara setotal Rp 39,5 triliun.
“Putusan majelis hakim sangat tidak berpihak dan telah mengingkari rasa keadilan masyarakat yang telah ditimbulkan dari perbuatan terdakwa Heru Hidayat,” ujar Febrie.
Dikatakan pula, hukuman pidana nihil terkait kasus ASABRI tersebut, membuka peluang terdakwa Heru Hidayat mendapatkan keringan hukuman. Itu dikhawatirkan Febrie, jika Heru Hidayat, yang sudah dipidana penjara seumur hidup terkait kasus Jiwasraya, mengajukan Peninjauan Kembali (PK). “Apabila terdakwa Heru Hidayat dalam perkara Jiwasraya mengajukan PK, dan PK tersebut mendapatkan potongan hukuman, maka terdakwa Heru Hidayat yang mendapatkan pidana nihil dalam perkara ASABRI, artinya akan disesuaikan dengan hasil PK kasus Jiwasraya. Dan itu, akan sangat tidak adil,” ujar Febrie.
Alasan lainnya, kata Febrie, hukuman pidana nihil terhadap terdakwa Heru Hidayat tersebut, pun inkonsistensi dengan vonis bersalah dari para majelis pengadil. Karena dalam vonisnya, majelis hakim menyatakan terdakwa Heru Hidayat bersalah melakukan tindak pidana korupsi, dan TPPU yang merugikan negara Rp 22,78 triliun. Menurutnya, vonis bersalah tersebut, seharusnya dibarengi dengan hukuman, bukan dengan pidana nihil.