REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) adalah kunci utama menuju Indonesia Emas.
Secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, RUU KIA menjadi jalan terbaik menuju cita-cita generasi emas dalam menyongsong bonus demografi.
Demikian petikan rasionalisasi RUU KIA yang disampaikan tiga srikandi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yakni Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini, anggota Komisi IX DPR RI Nur Nadlifah, dan anggota Komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi DPR RI dengan pengusul RUU KIA, awal pekan ini, Senin (17/1/2022) di Ruang Rapat Baleg DPR RI, Jakarta.
Anggia menyampaikan bahwa RUU KIA pada dasarnya untuk menjamin terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak secara fisik, psikis, sosial, dan spiritual.
"Penyelenggaraan KIA merupakan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat guna memenuhi kebutuhan dasar ibu dan anak," ujar Anggia.
Menurut perempuan yang juga Ketum Pimpinan Pusat Fatayat NU ini, ada sejumlah hak dasar yang harus diperoleh seorang ibu di antaranya hak mendapatkan pelayanan kesehatan, jaminan kesehatan saat kehamilan, mendapat perlakuan dan fasilitas khusus pada fasilitas, sarana, dan prasarana umum, hingga mendapat rasa aman dan nyaman serta perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Dia menyebutkan, bagi ibu yang bekerja, ibu wajib mendapat waktu yang cukup untuk memerah ASI selama waktu kerja, cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan dan tetap memperoleh gaji dari jamsos perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan.
Anggia mengatakan, PP Fatayat NU sebagai lembaga yang dipimpinnya juga memiliki komitmen yang sama.
Dengan basis puluhan juta perempuan di Indonesia, perhatian atas kesejahteraan ibu dan anak merupakan komitmen yang telah lama juga dijalankan Fatayat.
“Landasannya sama dengan alasan pentingnya RUU ini, sebab kerja-kerja Fatayat terkait erat dengan edukasi kesehatan reproduksi, menurunkan stunting, hingga pemberdayaan serta ikhtiar memajukan perempuan melalui keterlibatan di ruang publik," ujar Anggia.
Sementara itu, Luluk Nur Hamidah menegaskan bahwa Indonesia saat ini masih menghadapi keprihatinan yang mendalam.
"Satu dari tiga anak Indonesia masih mengalami stunting. Itu terjadi karena ada situasi sistemik yang dialami oleh ibu, terutama pada seribu hari pertama kelahiran," ujar Luluk.
Dalam RDPU ini, masukan dari Baleg di antaranya penjelasan lebih lanjut mengenai terminologi kesejahteraan, penguatan tujuan, persinggungan dengan Kemnaker terkait lamanya waktu cuti bagi perempuan, hingga komunikasi dengan pihak terkait.
Anggia sendiri menyatakan sudah melakukan komunikasi intensif dengan banyak stakeholder.
"Seperti Kementerian PPPA, Kemnaker, Kemenkes, BKKBN, para organisasi profesi seperti keperawatan, kebidanan, tenaga kerja, kami sudah berdiskusi dengan mereka. Tentu belum sempurna. Kami mencatat dan menerima semua masukan, dan akan mendiskusikannya pada proses berikutnya," tutur dia.