Selasa 18 Jan 2022 14:14 WIB

Sosiolog: Kasus Penendangan Sesajen Semeru tak Perlu Diproses Hukum

Pelaku tidak berasal dari wilayah Lumajang dan tak mengetahui adat istiadat setempat.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
Polisi menangkap laki-laki penendang sajen di Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Foto: Tangkapan layar
Polisi menangkap laki-laki penendang sajen di Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Prof Bagong Suyanto turut mengomentari kasus penendangan sesajen di kawasan terdampak erupsi Gunung Semeru yang videonya viral beberapa waktu lalu. Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan satu tersangka, Hadfhana Firduas yang ditangkap di Yogyakarta.

Dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) tersebut mengatakan, bangsa Indonesia perlu belajar memaafkan dan memahami orang yang tidak mengerti. Artinya, kata dia, kasus tersebut sejatinya bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak harus sampai ke ranah hukum.

Baca Juga

“Menurut saya memang tidak perlu memperpanjang masalah ini sampai ke ranah hukum. Kita bisa menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan dan yang terpenting ketika pelaku sudah meminta maaf maka ya selesai permasalahannya," ujar Bagong, Selasa (18/1).

Bagong mengatakan, berdasarkan informasi yang diperolehnya, pelaku tidak berasal dari wilayah Lumajang sehingga mungkin tidak mengetahui adat-istiadat setempat. Kendati tidak setuju dengan penahanan terhadap Hadfhana, Dekan Fisip Unair tersebut tetap tidak menyetujui tindakan itu.

Menurutnya, Indonesia adalah bangsa multikulturalisme sehingga setiap orang perlu menghargai perbedaan. “HF kan orang luar daerah yang datang ke komunitas lokal, maka dia harus berempati dan belajar memahami perbedaan,” ujar Bagong.

Hadfhana, sambung Prof Bagong, tidak bisa hanya membenarkan tindakannya sendiri dan menganggap yang lain adalah salah. Karena nanti akan ada kelompok-kelompok lain yang tersinggung. Ia pun berharap kejadian ini bisa menjadi pelajaran bersama.

Bagong menyampaikan, masyarakat boleh saja mempercayai dan mengimani suatu keyakinan. Akan tetapi kemudian, mereka tidak perlu menyalahkan atau merendahkan yang lainnya. Cukup dirasakan sendiri tanpa menyinggung keyakinan lain.

Melalui sikap yang demikian itu, maka diharapkan tidak akan terulang kejadian serupa. Hal itu karena tidak ada anggapan salah terhadap kelompok atau keyakinan lain. Selebihnya yang ada yakni penghormatan dan kesediaan untuk menerima bahwa perbedaan itu ada.

“Jadi masyarakat harus betul-betul memahami bahwa kita hidup di lingkungan yang beraneka ragam. Sehingga ketika hendak menilai suatu kelompok lain yang berbeda, janganlah memakai ukuran kita sendiri," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement