Jumat 14 Jan 2022 08:59 WIB

Ketua Asosiasi Penghulu Ungkap 4 Masalah Kontemporer Seputar Perkawinan

Terhadap fenomena ini umat Islam diajak untuk menyikapinya sesuai hukum Islam

Penghulu yang bertindak sekaligus sebagai wali nikah mempelai perempuan, menyerahkan buku nikah kepada mempelai laki-laki di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakel, Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (26/12/2020). Pernikahan di tengah pandemi itu tidak dihadiri langsung mempelai perempuan karena terpapar COVID-19, sehingga hanya bisa menyaksikan prosesi akad secara virtual/daring dari asrama COVID-19.
Foto: ANTARA/Destyan Sujarwoko
Penghulu yang bertindak sekaligus sebagai wali nikah mempelai perempuan, menyerahkan buku nikah kepada mempelai laki-laki di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakel, Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (26/12/2020). Pernikahan di tengah pandemi itu tidak dihadiri langsung mempelai perempuan karena terpapar COVID-19, sehingga hanya bisa menyaksikan prosesi akad secara virtual/daring dari asrama COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Umum Dewan Pimpinan Pimpinan (DPP) Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI), Madari menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Ilmiah Kesiapsiagaan Syariah dalam Menghadapi Tantangan Zaman. Dalam diskusi yang dihelat secara virtual oleh Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) ini, Madari memaparkan 4 persoalan kontemporer terkait pernikahan.

"Ada sedikitnya empat fenomena terkait pernikahan yang belakangan ini kerap muncul, yaitu perkawinan usia dini, perkawinan beda agama, perkawinan sejenis, dan akad nikah dilakukan secara online," kata Madari secara virtual, Kamis (13/1/22). 

Baca Juga

Terhadap keempat fenomena ini, Madari mengajak umat Islam untuk menyikapinya dengan hukum Islam dan sesuai perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Perkawinan usia dini memiliki dampak yang begitu buruk. Karena itu, undang-undang kita mengatur bahwa usia pernikahan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Namun yang ideal, sebagaimana disebut dalam undang-undang adalah 21 tahun," ungkap Madari.

Madari melanjutkan, perkawinan beda agama juga diatur dalam Undang-undang (UU) pernikahan nomor 1 tahun 1974 yang hingga kini masih berlaku. Disebutkan dalam UU tersebut, pasangan yang dianggap sah pernikahannya harus memiliki kesamaan keyakinan.

"Undang-undang kita sudah mengunci di pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu," terangnya.

"Sampai saat ini, regulasi ini belum berubah dan KUA tidak melayani pernikahan beda agama," tambah Madari. 

Sedangkan terkait perkawinan sesama jenis, lanjut Madari, pihaknya kembali mengajak semua pihak untuk menyikapinya sesuai UU nomor 1 tahun 1974."Disebutkan dalam Pasal 1 bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," ujarnya. 

Terkait akad nikah online yang terjadi, Madari menyebutnya sebagai fenomena yang harus disikapi dengan bijak. Pihaknya menyatakan, akad nikah secara online rentan disalahgunakan. "Dalam ketentuan hukum yang dijadikan patokan, belum ada satu pun regulasi yang membolehkan KUA mencatat pernikahan secara virtual," katanya. 

Hadir dalam Diskusi Ilmiah ini, Ketua Umum MPN HISSI, M. Amin Summa, Ketua Kamar Agama MA, Amran Suadi, dan sejumlah narasumber lainnya. Diskusi dibuka secara virtual oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan diikuti ratusan peserta. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement