Selasa 11 Jan 2022 09:38 WIB

Rusuh Surabaya 1920, Langit Makin Mendung, Cicitan Ferdinand Hutahean: SARA Sangat Serius!

Semenjak era kolonial isu agama itu sangat serius

Demonstrasi di AS tuntut pelarangan atas sikap Islamofobia
Foto:

                                                        ***** 

Dan memang, bila dibaca memang cerpen 'Langit Makin Mendung' tampak bersikap pejoratif atau mengolok-olok kesucian Allah, ajaran Islam, Nabi Muhammad beserta sahabatnya.  Selain itu, isinya tak jauh beda dengan kisah Gatoloco. Cuma yang membedakannya, cerpen ini dibat pada zaman yang lebih kontemporer.

‘Langit Makin Mendung’ bermasalah serius karena memuat hal-hal yang memantik atau berbau pejotaratif terhadap simbol agama Islam, yaitu posisi keberadaan Allah dan posisi malaikat Jibril. Di cerpen itu bahkan ada penggalan kisah suasana prostitusi di Pasar Senin kala itu meski tak vulgar.

Salah satu contohnya ada pada bagian tengah cerpen tersebut. Penggalan kisahnya seperti ini:

.....Muhammad segera naik ke punggung buraq – kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya waktu ia mi’raj. Secepat kilat buraq terbang ke arah bumi dan Jibrail yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang. Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.

“Benda apa di sana?” tanyanya keheranan.

“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”

“Orang? Menjemput kedatanganku?” (Gembira)

“Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”

“Orang-orang malang. Semoga Tuhan mengampuni mereka. Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo buraq!”

Buraq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya Jibrail memberi isyarat sputnik berhenti sejenak. Namun, sputnik Rusia memang tidak ada remnya. Tubrukan tak dapat dihindarkan lagi. Buraq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala-kepala botak di lembaga aeronautic di Siberia bersorak gembira.

“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi…” terdengar siaran radio Moskow.

Muhammad dan Jibrail terpental ke bawah. Mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.

“Sayang-sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Bisik Muhammad sedih. Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.

“Jibrail, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”

“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka, Jakarta namanya. Ibu kota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas buta huruf.” (Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung: Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968).

Baca juga : Polri: Ferdinand Hutahaean Terancam 10 Tahun Penjara

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement