REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menunggak penuntasan penyidikan empat kasus dugaan korupsi yang ditangani sepanjang 2021. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Supardi mengungkapkan kasus-kasus tersebut, di antaranya adalah dugaan korupsi pada Lembaga Pembiyaan Ekspor Indonesia (LPEI), pengelolaan dana investasi di BPJS Ketenegakerjaan, Taspen, dan hibah untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Supardi mengatakan, kasus-kasus tersebut penanganannya punya kendala-kendala tersendiri. Ragam kendala tersebut, kata dia, yang membuat proses pelengkapan berkas penyidikan, maupun nasib kelanjutan penyidikan tak tuntas sepanjang tahun ini. Akan tetapi, Supardi menjanjikan, untuk memprioritaskan empat kasus dugaan korupsi tersebut, rampung pada tahun baru 2022 mendatang. “Nanti kita selesaikan pada awal tahun. Itu seperti LPEI, Taspen, BPJS (Naker), juga KONI,” kata Supardi kepada Republika, di Kejakgung, Jakarta, Selasa (28/12).
Kasus-kasus dugaan korupsi tersebut, sampai saat ini memang belum rampung penyidikannya. Bahkan, ada yang sama sekali belum ada penetapan tersangka. Seperti dugaan korupsi dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) kepada KONI 2017. Kasus tersebut, penyidikannya sudah dimulai sejak 2020. Puluhan saksi dari Kemenpora, maupun pengurus KONI, dan para pengurus cabang-cabang olahraga, telah diperiksa di Kejakgung. Tetapi, sampai tutup 2021, kasus tersebut mangkrak, tanpa ada penetapan tersangka.
Supardi menjelaskan, kasus dugaan korupsi dana hibah KONI tersebut, sebetulnya tinggal menunggu hasil penghitungan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Kasus KONI itu, tinggal sedikit lagi dari BPK. Kita belum terima hasil auditnya,” ujar Supardi. Sedangkan terkait kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan BPJS Naker, penyidikannya dimulai sejak Januari 2020. Ratusan saksi sudah diperiksa untuk pengungkapan kasus tersebut. Tetapi, sampai hari ini, pun kasus tersebut, tak ada kelanjutan.
Jampidsus Ali Mukartono pernah menyampaikan di Komisi III DPR RI, dalam kasus dugaan korupsi BPJS Naker itu, diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp 22 triliun. Supardi, dalam setiap sesi tanya-jawab, selalu menyampaikan, penyidikan kasus tersebut, hanya tinggal menunggu penjelasan dari para ahli. Supardi pernah menyampaikan, tim penyidikanya, sudah menemukan unsur-unsur perbuatan pidana dalam pengelolaan dana investasi BPJS Naker. “Perbuatan melawan hukumnya, sudah ada. Kalau bukti-buktinya sudah cukup, akan dilanjutkan,” kata Supardi, Kamis (7/10).
Tetapi, kata Supardi, belum ada kesimpulan dari BPK yang melakukan audit investasi dari BPK, untuk menemukan angka pasti besaran kerugian negara. “Kasus BPJS Naker ini, masih dihitung-hitung. Apakah ini kerugian negaranya real (angka pasti), atau potensial (hanya potensi merugikan negara),” terang Supardi. Jika kerugian negara tersebut, hanya potensial, kata Supardi, hal tersebut tak dapat menjadi landasan untuk melanjutkan penyidikan. “Tahun depan (2022), akan kita pastikan apakah kasus ini dilanjutkan, atau dihentikan (SP-3),” kata Supardi menambahkan.
Adapun terkait dugaan korupsi di LPEI, kasus tersebut sebetulnya sudah menjerat sebanyak delapan orang tersangka. Tetapi, para tersangka itu, belum menyentuh soal pokok perkara korupsinya. Delapan tersangka yang sudah ditetapkan pada November 2021 lalu itu, para mantan direktur, dan pengelola LPEI, serta para pengusaha, juga seorang pengacara yang dijebloskan ke tahanan lantaran kerap mangkir dari pemeriksaan. Delapan tersangka itu, juga ditahan karena melakukan penghalang-halangan penyidikan dugaan korupsi LPEI yang ditaksir merugikan negara Rp 4,7 triliun sepanjang 2013-2019.
Sedangkan terkait dugaan korupsi di PT Taspen, kasus tersebut belum naik ke level penyidikan. Kasus tersebut, dalam status penyelidikan sejak April 2021 lalu. Namun, Jampidsus-Kejakgung, belum meningkatkan status penyelidikan, menjadi penyidikan. Tetapi, Supardi melanjutkan, kasus tersebut, akan tetap mendapatkan kepastian hukum pada tahun depan. “Semua kasus-kasus itu, harus kita selesaikan di tahun baru nanti. Karena biar ada kepastian hukum apakah kasus-kasus itu akan dilanjutkan, atau tidak,” terang Supardi.