Senin 27 Dec 2021 16:11 WIB

Gus Yahya, PBNU, dan Metaverse

Gus Yahya diharapkan bisa mengembalikan relevansi organisi Islam di dunia digital.

Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf menghadiri pembukaan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 di Pondok Pesantren Darus Sa
Foto:

Oleh : Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Kenyataan empiris soal relevansi organisasi ini telah dipotret secara tajam oleh Gus Yahya. Dia mengidentifikasi bahwa yang membuat relevansi organisasi memudar adalah konstruksi atau pola organisasi yang usang.

Kini dengan posisinya sebagai Ketua Umum PBNU, tentu harapan besar agar Gus Yahya mampu mengembalikan relevansi organisasi Islam di tengah perkembangan dunia digital. Terlebih, menjelang era mertaverse yang efeknya pada kehidupan akan jauh lebih dahsyat lagi. 

Dengan metaverse, individu semakin mudah menciptakan circle sendiri dengan visualisasi layaknya dunia avatar. Akibatnya interaksi yang bersifat emosional tentu akan lebih dalam. Bayangkan jika individu yang salah memanfaatkan hal ini untuk menyebar pemikiran dan pandangan yang menyimpang. 

Kehadiran organisasi Islam sangat penting di tengah era inflasi arus informasi akibat digitalisasi. Ormas Islam menjadi garda untuk mengcounter banyaknya individu yang hanya dengan modal ponsel dapat mempengaruhi massa. Ormas profesional tentu memiliki mekanisme kontrol ketat organisasi. Bukan kontrol yang bersifat individual.       

Oleh karenanya, sangat penting bagi setiap organisasi Islam untuk bisa bertransformasi secara digital. Metaverse mesti diimbangi dengan metaorganisasi Islam. 

Ormas Islam dapat meminjam pola metaorganisasi dalam organisasi bisnis yang bermuara pada konsep platform digital. Gawyer (2014) dalam Kenny, Rouvinen, Seppala, dan Zysman (2019) menjelaskan bahwa pola platform adalah saat organisasi bisnis berkembang menjadi metaorganisasi yang mampu menjadi wadah yang mempertemukan sisi permintaan dan penawaran via digital. 

Menurut Van Alstyne, Parker, dan Choudary (2016) pola metaorganisasi platform melibatkan empat instrumen, yakni pemilik platform, provider (medium), pebisnis, dan yang mengkonsumsi. Contoh sederhana dari keempat instrumen itu dalam platform Gojek adalah pemilik Gojek (pemilik platform), perusahaan ponsel dan penyedia paket data (provider), driver Gojek (seller), dan konsumen. Keempat instrumen itu berinteraksi sehingga menghasilkan efek jaringan (network effect) yang sangat kuat. 

Jika pendekatan organisasi bisnis itu dipakai ke organisasi Islam, maka keempat instrumennya adalah ormas (sebagai pemilik platform), provider (penyedia koneksi digital), ulama yang menyampaikan ajarannya, dan umat yang mengonsumsinya. 

Walhasil, Ormas sebagai pemilik platform mesti memanfaatkan segala provider digital yang mampu mempertemukan ulama mereka dengan umat. Interaksi secara terus menerus lewat pola metaorganisasi ini akan memperkuat network effect bagi ormas.

Efek jaringan ini dapat dimanfaatkan ormas tak hanya ke sisi aqidah saja, melainkan juga muammalah. Dengan itu ormas dalam memberdayakan umat secara spiritual, sosial, edukasi, maupun ekonomi. Sehingga relevansi ormas Islam akan sangat kuat di era digital. 

Bisa dibayangkan tentu network effect yang dihasilkan apabila PBNU yang memiliki anggota lebih dari 100 juta itu mampu melakukan transformasi metaorganisasi ke dunia digital.

Mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengutip salam penutup yang kerap diucapkan warga NU, wallahul muwafiq ila aqwamit-thariiq. Karena pada akhirnya, Allahlah yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya, baik di dunia semesta (universe) maupun semesta digital (metaverse).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement