Sabtu 25 Dec 2021 08:31 WIB

Pencurian Data dan Ransomware, Ancaman di 2022

Pencurian data atau serangan siber memang sangat sulit dicegah.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Agus Yulianto
Dr Pratama Persadha, Chairman Communication & Information System Security Research Center (CISSReC)
Foto:

RUU PDP mendesak disahkan

Di sisi lain, UU Perlindungan Data Pribadi menjadi pembahasan pemberitaan selama 2020-2021. Ini karena begitu banyak kebocoran data dan masyarakat tidak bisa apa-apa karena tidak ada instrumen yang melindungi.

Selain itu, Pratama mengatakan, ancaman ransomware juga akan terus tumbuh. Serangan ini diperkirakan akan meningkat di industri kritis di mana membayar penjahat siber terpaksa dilakukan untuk melindungi keamanan dan keselamatan data demi keberlangsungan institusi atau perusahaannya.

Dikatakannya, di tahun 2022, prediksi berdasarkan tren global yang ada dengan melihat pola penyerangan dan inovasi teknologi yang terus berubah, maka serangan ransomware diproyeksikan bakal meningkat. "Hingga deepfake juga masalah kerentanan perangkat IoT yang kemungkinan akan menambah ancaman terhadap keamanan siber,” terang pria asal Cepu Jawa Tengah ini.

"Kita sudah melihat serangan ransomware ke perusahaan pipa minyak Amerika pada awal Mei. Ini merupakan salah satu serangan siber paling massif di tahun ini," tambahnya.

Colonial Pipeline, operator jaringan BBM terbesar AS, terpaksa membayar uang tebusan 5 juta dolar AS setelah terkena serangan siber ransomware juga mencuri hampir 100 GB, dan pelaku mengancam akan merilisnya ke internet kecuali uang tebusan dibayarkan. Serangan itu memicu krisis energi sementara, juga perusahaan menghentikan operasi pipa selama beberapa saat.

“Di tahun 2022 adopsi pada cloud meningkat tajam. Penyedia jasa cloud harus mempersiapkan diri menjadi target serangan seiring dengan semakin masifnya migrasi industri dan pemerintah ke cloud. Jadi mau tidak mau standar keamanan dan SDM harus ditingkatkan,” kata Pratama.

Ditambahkan Pratama, peristiwa seperti bocornya data institusi pemerintah dari Polri, BPJS Kesehatan,e-HAC, dan banyaknya peretasan pada web pemerintah. Contohnya Setkab DPR diharapkan bisa ditekan pada tahun mendatang, sehingga meningkatkan kepercayaan dunia internasional pada Indonesia. Karena itu, Pratama menggarisbawahi, pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi selesai segera pada 2022.

“Padahal RUU PDP sudah prolegnas pada 2021, tapi hingga saat ini masih belum tampak untuk disahkan," ujarnya. 

Kendalanya yaitu karena RUU PDP saat ini adalah di Komisi PDP itu sendiri, belum ada kesepakatan antara DPR dan Kominfo. Kemenkominfo sendiri masih kekeuh untuk Komisi PDP berada di bawah Kementeriaan Kominfo, sedangkan Komisi 1 DPR serta elemen masyarakat termasuk CISSReC ingin Komisi PDP berdiri sendiri seperti Komisi negara lainnya.

Belum lagi isu Metaverse, ini menjadi tantangan serius, apakah negara punya cukup regulasi untuk mengatur metaverse nantinya. Karena metaverse ini seperti tanah wilayah tetapi di wilayah siber. Kemudian bagaimana regulasinya, apakah kita siap atau tidak, masih ada waktu satu hingga dua tahun untuk negara siap menghadapi ini.

 

Karena bila negara tidak siap, tutur Pratama, maka masyarakat akan secara otodidak dan otomatis masuk tanpa bekal apa pun. "Ini berbahaya sebab bisa menyedot potensi ekonomi Indonesia, transaksi terjadi di metaverse misalnya tanpa melewati negara," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement