REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks kualitas lingkungan hidup Indonesia melonjak drastis sejak pandemi melanda. Tapi, kualitas air yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, ternyata indeksnya masih rendah. Hal itu terungkap dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2021 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang digelar di Jakarta, Selasa (21/12).
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro menjelaskan, indeks kualitas lingkungan hidup diukur dari empat sektor. Mulai dari air, udara, lahan (tutupan lahan dan gambut), hingga kualitas air laut. "Alhamdulillah indeks kualitas lingkungan hidup Indonesia tahun ini terjadi peningkatan," ujar Sigit.
Berdasarkan data yang dipaparkan Sigit, tampak indeks kualitas lingkungan hidup melonjak sejak 2020, tahun ketika pandemi Covid-19 mulai merebak di Tanah Air. Sejak 2015 hingga 2019, indeks kualitas lingkungan hidup berkutat di angka 60-an. Sedangkan pada 2020, indeksnya melompat ke angka 70,27. Lalu naik lagi menjadi 71,43 pada 2021.
"Peningkatan tajam pada 2020 itu sebagian besar berkorelasi dengan penurunan aktivitas ekonomi kita. (Hasilnya), udara Jakarta jadi biru, sungai-sungai yang kita deteksi juga terjadi perbaikan kualitas yang luar biasa," ujarnya.
Di balik kabar gembira itu, terdapat pekerjaan rumah yang menanti, yakni perbaikan indeks kualitas air. Sebab, indeks kualitas air tahunan dalam rentang waktu 2015-2021 hanya naik turun pada poin 50,20 hingga 53,53.
"Kualitas air ini yang paling berat (meningkatkannya), karena indeksnya masih rendah dan belum mencapai target," kata Sigit mengakui. Dalam rentang waktu 2015-2021, kata dia, terdapat tren penurunan kualitas air di Provinsi Bengkulu, Banten, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.
Secara umum, lanjut dia, penurunan kualitas air ini terjadi karena banyaknya biokimia dan bakteri E coli yang masuk ke aliran air. E Coli merupakan bakteri yang terdapat dalam tinja manusia.
Banyaknya biokimia dan E Coli masuk ke aliran air terjadi karena buruknya pengelolaan limbah rumah tangga. "Mempercepat perbaikan sanitasi urgen dilakukan," kata Sigit.
KLHK sendiri mengatasi persoalan ini dengan membuat infrastruktur hijau yang dinamakan ekoriparian. Ekoriparian ini berupa taman dan fasilitas pengolahan air limbah di area bantaran sungai yang dulunya tempat pembuangan sampah warga.
Salah satu yang sudah berjalan adalah Ekoriparian Bintang Alam di Karawang, Jawa Barat. Pembuatannya ditujukan untuk mengurangi limbah dan sampah rumah tangga yang masuk ke Sungai Citarum.
"Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Ekoriparian Bintang Alam mampu mengolah limbah rumah tangga dari 2 ribu kepala keluarga," kata Sigit. Selain itu, Ekoriparian ini juga berhasil menjadi taman warga dan lokasi ekowisata.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian I Kantor Staf Presiden (KSP), Trijoko Solehoedin menyatakan, pembuatan ekoriparian disertai IPAL itu adalah sebuah contoh yang bagus bagi masyarakat. Tapi, yang dibutuhkan sekarang bukan hanya sekadar contoh, melainkan implementasinya secara masif.
Trijoko ingin agar pembuatan IPAL menjadi salah satu kewajiban yang harus ditunaikan para pengembang perumahan. Dengan begitu, seluruh limbah rumah tangga warga perumahan itu bisa diolah terlebih dahulu sebelum masuk ke aliran air.
"Nanti kita duduk bareng dengan Dirjen Perumahan PUPR soal bagaimana agar itu (pembuatan IPAL) jadi kewajiban ketika pembangunan perumahan-perumahan baru," kata Trijoko pada kesempatan sama.
Dosen Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan pada Institut Pertanian Bogor (IPB), Irdika Mansur mengatakan, pembangunan ekoriparian haruslah disertai penanaman riparian. Riparian adalah tumbuhan yang hidup dan berkembang di tepi-tepi sungai.
Irdika menjelaskan, tumbuhan riparian itu berfungsi sebagai penyaring logam berat dan polutan seperti logam berat ataupun tekstil. "Dengan mengembalikan jenis-jenis tumbuhan asli pinggir sungai nantinya akan membantu pemulihan mutu air sungai dan badan air yang tercemar," ujarnya.