REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Polisi menetapkan seorang guru pesantren di Kabupaten Tasikmalaya berinisial AS (48) menjadi tersangka kasus pencabulan. Guru tersebut diduga melakukan kepada tiga santrinya yang masih berstatus di bawah umur.
Kapolres Tasikmalaya, AKBP Rimsyahtono mengatakan, aparat kepolisian menerima laporan terkait kasus itu dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya pada 7 Desember. Setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan, polisi menetapkan satu orang tersangka dalam kasus itu.
"Saat ini kami sudah menetapkan tersangka setelah melengkapi alat bukti," kata dia saat konferensi pers, Kamis (16/12).
Sejauh ini, terdapat tiga orang yang menjadi korban perbuatan guru tersebut. Namun, polisi tak menutup kemungkinan adanya tambahan korban. Sebab, saat ini Polres Tasikmalaya masih terus menghimpun informasi.
"Korban yang buktinya dinyatakan lengkap ada tiga orang. Kita masih dalami kemungkinan ada korban lain, setiap informasi kita masih tampung," ujar Rimsyahtono.
Kapolres menjelaskan, aksi pencabulan itu dilakukan pada sekitar 5 tahun lalu. Modusnya, tersangka menawarkan pengobatan kepada anak asuhnya yang sakit. Dengan modus mengobati dengan memijat, tersangka melakukan pencabulan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, aksi itu dilakukan di asrama putri salah satu pondok pesantren di Kabupaten Tasikmalaya. Aksi terakhir diketahui terjadi pada Agustus 2021.
Rimsyahtono mengatakan, polisi telah menyita sejumlah barang bukti, di antaranya ponsel, tangkapan layar percakapan korban atau saksi dengan tersangka, serta pakaian korban saat kejadian. "Korban semua di bawah umur. Tersangka adalah pengajar," kata dia.
Ia menegaskan, Polres Tasikmalaya ingin cepat menuntaskan kasus itu agar masyarakat mendapat kepastian dan ada kepastian hukum. Dengan begitu, masyarakat tak tergiring dengan isu lainnya.
Akibat perbuatannya, tersangka dikenakan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. "Ancaman hukuman 15 tahun (penjara)," kata dia.