Selasa 14 Dec 2021 17:27 WIB

Ketua KPK Firli Temui DPD, Bahas Presidential Threshold 0 Persen?

Ketua KPK Komjen Firli mendukung agar presidential threshold sebesar 0 persen.

Rep: Nawir Arsyad Akbar, Febrianto Adi Saputro, Haura Hafizhah/ Red: Bayu Hermawan
Ketua KPK Firli Bahuri mendukung presidential threshold sebesar 0 persen (foto: ilustrasi)
Foto:

Sementara, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, mengapresiasi dan mendukung pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang menyebut ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) harus ditiadakan untuk mengentaskan korupsi di Tanah Air. Menurutnya adanya Presidential Threshold, maka demokrasi di Indonesia masih diwarnai dengan biaya politik yang tinggi. 

Ia menilai sudah seharusnya pilpres yang membutuhkan ongkos politik mahal dihilangkan. Menurutnya ambang batas pencalonan presiden  dikhawatirkan dijadikan peluang bagi oligarki untuk mensponsori figur yang ingin maju dalam pemilihan presiden.

"Setelah sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki tentu harus diakomodir sehingga tersandera kepentingan pihak lain yang mendorong terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)," kata Guspardi dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/12).

Guspardi juga berpandangan penerapan sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi hak konstitusional rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya. Presidential Threshold juga dinilai lari dari semangat reformasi, lantaran tidak membuka ruang demokrasi guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih mana calon yang terbaik tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas.

Ia juga menilai dengan dihapusnya aturan Presidential Threshold juga dapat menjadi salah satu jalan keluar guna mencegah polarisasi di tengah masyarakat. Karena itu, Guspardi mengungkapkan setiap partai politik seharusnya diberikan hak konstitusionalnya mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. 

Ia pun mengajak semua pihak berkaca dari pengalaman kontestasi Pilpres 2019 lalu. Penetapan Presidential Threshold telah mengakibatkan rakyat terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling berhadapan yang membuat terjadinya persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu lawan. 

"Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat," jelasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement