REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas pecinta kopi, Barista Indonesia menyelenggarakan acara virtual dengan tajuk Budaya Pecinta Kopi dan Gaya Hidup Urban di Kedai Kopi. Virtual event ini diselenggarakan oleh komunitas pecinta kopi, Barista Indonesia bekerjasama dengan Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) dengan tujuan selain untuk bertukar referensi antar sesama barista dan pecinta kopi dalam menghadapi pertumbuhan kedai kopi yang sangat kompetitif di Indonesia.
Selain itu juga juga mensosialisasikan kesadaran akan pengurangan risiko bahaya yang sebetulnya dapat dikelola dan bahkan dikurangi melalui berbagai cara. Seperti dengan menerapkan konsep pengurangan bahaya atau harm reduction.
Dalam virtual event tersebut turut menghadirkan Harry Stiadi, Co Founder Barista Indonesia, Dwi Kurnia, owner Notificoffee dan Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), Ariyo Bimmo.
Co Founder Barista, Harry Stiadi mengatakan salah satu penyebab perubahan tren budaya ngopi di kedai kopi di tengah masyarakat urban adalah harga kopi yang kian terjangkau, kepraktisan dalam penyajian serta keragaman rasa yang disesuaikan dengan selera konsumen, padahal tadinya cukup dengan menyeduh kopi instan di rumah.
Sementara Dwi Kurnia, owner Notificoffee menambahkan intensi yang melatarbelakangi pengunjung untuk datang ke kedai kopi ternyata tidak hanya untuk minum kopi saja, tapi rehat/santai, bertemu teman dan pekerjaan.
“Bahwa meminum kopi tidak hanya melibatkan kebutuhan dosis kafein belaka, melainkan adalah kegiatan psikis yang mengukuhkan identitas individu atau komunitas didalamnya. Lewat ruang visual kedai kopi tidak hanya mencitrakan bahwa kedai kopi mereka unik, tetapi pelanggan yang datang akan merasa bahwa mereka juga termasuk dalam golongan tertentu yang tidak dapat disamakan dengan komunitas lainnya.”
Salah satu hal yang turut menjadi sorotan dalam acara virtual event tersebut adalah aktivitas minum kopi di kedai kopi biasanya erat dengan kebiasaan merokok. Bagi pengunjung yang merokok, rokok dianggap cocok sebagai teman bersantai sambil ngobrol di kedai kopi. Rokok bukan hanya menjadi kebiasaan saja, tetapi sudah menjadi kebutuhan bagi pengunjung yang merokok.
Dwi mengatakan karena saat ini berkunjung ke kedai kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup urban, dimana perokok dan non perokok bisa jadi berkumpul dalam satu ruangan dan non perokok dituntut menjadi lebih toleran, meski mereka menyadari bahaya risiko yang terjadi.
Senada dengan itu, Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), Ariyo Bimmo mengatakan perokok dan non-perokok sebenarnya mengetahui akan dampak buruk rokok bagi kesehatan, namun mengabaikan dan menyepelekan hal tersebut, karena perilaku hidup tidak sehat juga sangat dipengaruhi oleh sosio-kultural. Lingkungan sosial adalah salah satu faktor yang membuat masyarakat terbiasa untuk minum kopi di kedai kopi sambil merokok.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Universitas Gajah Mada membuktikan kontrol perilaku pengendalian perilaku merokok dan minum kopi di kedai kopi masih lemah, “Oleh karena itu sosialisasi harm reduction adalah program yang dirancang sebagai upaya edukasi terhadap masyarakat mengenai dampak dan bahaya merokok bagi diri sendiri serta lingkungan atau orang-orang terdekat yang terkena asapnya serta sosialisasi strategi atau cara untuk dapat mengontrol diri dengan pengurangan resiko bahaya yang bisa diaplikasikan oleh setiap perokok”, tambah Ariyo lagi.
Contoh implementasi dari harm reduction atau pengurangan bahaya diantaranya penggunaan helm, eco-driving, energi yang terbarukan, plastik daur ulang dan produk tembakau alternatif.
“Penggunaan produk tembakau alternatif tidak sepenuhnya bebas risiko, namun produk ini mampu mengurangi risiko hingga 90 persen dan pengurangan bahaya asap bagi pengunjung kedai kopi yang tidak merokok, karena kandungan TAR yang terdapat pada rokok dapat merusak kesehatan, khususnya pada sistem kardiovaskuler”, tutup Ariyo.