REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengingatkan para jaksa agar tak ada yang terlibat dalam praktik mafia pertanahan. Namun, Burhanuddin menegaskan, para jaksa harus turut membasmi praktik-praktik para mafia tanah.
Dia meminta, agar jaksa tak ragu-ragu dalam memenjarakan para mafia tanah yang dilakoni para pejabat negara, penegak hukum, juga kelompok-kelompok masyarakat. “Ayo kita basmi para mafia-mafia tanah sampai ke akarnya,” kata Burhanuddin dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, pada Senin (29/11).
Burhanuddin pun memastikan, tak bakal segan menuntut maksimal para pelaku praktik mafia pertanahan, meskipun itu dari kalangan jaksa, maupun pejabat negara lainnya. “Saya tidak akan segan menyeret mereka ke meja hijau, dan membenamkannya ke dalam penjara, bahkan jika sekalipun ada pegawai kejaksaan yang terlibat,” tegas dia.
Kampanye pemberantasan mafia tanah oleh Jaksa Agung ini, bukan kali pertama. Pekan lalu, Burhanuddin juga menyampaikan hal yang serupa. Tak cuma memerintahkan para jaksa untuk membasmi para mafia tanah, ia juga meminta, para jaksa melakukan deteksi dini potensi konflik agraria, dan pencegahan praktik-praktik penguasaan tanah yang dilakoni para kelompok mafia.
Burhanuddin juga mengatakan, agar para jaksa teliti dalam menakar kasus-kasus sengketa tanah. Sebab kata dia, sengketa tanah tersebut, bisa jadi dilandasi praktik culas yang dilakukan oleh mafia tanah gabungan, antara pejebat negara, penegak hukum, dan kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
“Cermati betul setiap sengketa tanah yang terjadi di semua wilayah hukum masing-masing. Pastikan bahwa, sengketa tanah itu, adalah sengketa antara warga dengan warga. Bukan diakibatkan, oleh para pelaku mafia tanah,” ujarnya.
Burhanuddin mengidentifikasi celah mafia pertanahan yang terjadi di Indonesia. Dari inventarisir kasus, menurut Burhanuddin, praktik mafia tanah bisa ada karena sampai saat ini, belum ada sistem yang terintegrasi dalam administrasi pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN), dengan pola pendataan tanah di desa-desa dan perkampungan.
“Misalya, terkait Letter C, adanya kewenangan ketua adat, dalam penerbitan surat keterangan tanah (SKT) atau surat keterangan tanah adat (SKTA),” ujar Burhanuddin.
Selain itu, sampai saat ini belum pungkasnya proses pendaftaran tanah nasional. Hal tersebut, tetap membuka penggunaan tanda bukti kepemilikan atas tanah yang ada, sebelum penerapan UU 5/1960 tentang Peraturan Desa Pokok-pokok Agraria.
Juga, kata dia, sampai hari ini, tak ada tindakan administratif terhadap tanah, yang haknya berakhir atau telah hapus. “Juga, masih maraknya terdapat sertifikat-sertifikat ganda (kepemikan tanah) yang saling tumpang tindih,” ujar Burhanuddin.
Kejaksaan Agung (Kejagung), kata Burhanuddin, akan mendukung upaya-upaya kejaksaan daerah, untuk menutup celah-celah praktik mafia tanah tersebut, dengan pendalaman, dan pengusutan. Agar, kata dia, para kepala kejaksaan di level-level daerah segera membentuk satuan tugas khusus, dalam menutup celah mafia tanah tersebut, dan menjadikan penanganan kasus mafia tanah, sebagai prioritas pemberantasan.
“Agar kepala-kepala satuan kerja di Kejati dan Kejari (Kejaksaan Tinggi, dan Negeri) untuk segera membentuk Tim Khusus, untuk menangani, dan menanggulangi praktik-praktik mafia tanah ini,” ucap dia.