Ahad 28 Nov 2021 09:14 WIB

Ridwan Kamil Ajak Lihat Angklung dari Perspektif Baru

Angklung sudah 11 tahun diakui sebagai warisan tak benda Unesco.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah pengunjung melihat cendera mata di Souvenir Shop Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka, Kota Bandung, Ahad (12/9). Saung Angklung Udjo kembali dibuka di masa PPKM Level 3 dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan melakukan pemindaian kode batang melalui aplikasi Peduli Lindungi serta membatasi jumlah pengunjung sebanyak 25 persen dari kapasitas. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Sejumlah pengunjung melihat cendera mata di Souvenir Shop Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka, Kota Bandung, Ahad (12/9). Saung Angklung Udjo kembali dibuka di masa PPKM Level 3 dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan melakukan pemindaian kode batang melalui aplikasi Peduli Lindungi serta membatasi jumlah pengunjung sebanyak 25 persen dari kapasitas. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Masyarakat global merayakan 11 tahun diakuinya angklung sebagai warisan tak benda dunia. Perayaan dilakukan dengan menggelar webinar internasional bertajuk Angklung Heal The World diselenggarakan secara virtual dari Kota Bandung, Sabtu (27/11).

Tema yang diangkat adalah ‘Angklung, The Potential Medium to Increase Cultural and Economic Resilience During the Covid-19’. Berbagai komunitas, akademisi, seniman budayawan, pemerhati, serta pencinta angklung dalam dan luar negeri hadir sampai akhir pada acara yang berlangsung empat jam itu.   

Baca Juga

Seperti diketahui, 16 November 2010 menjadi tanggal bersejarah bagi dunia dan membanggakan Indonesia, di mana angklung ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco, organisasi PBB yang mengurusi kebudayaan. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berharap, dengan memperingati 11 tahun angklung diakui dunia maka akan menjadi  media potensial meningkatkan ketahanan budaya dan ekonomi di masa pandemi Covid-19.

“Angklung sebagai healer pendekatan baru dan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk umat manusia,” ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil.

Webinar merupakan perwujudan lanjutan membahas angklung dari sudut pandang yang lain. Selama ini angklung dipandang sebagai alat musik yang erat dengan pertunjukan seni, maupun media atau bahan untuk didiskusi dalam berbagai forum. Namun webinar internasional ini membawa angklung ke level yang berbeda.

“Heal the world melihat sisi lain angklung sebagai healer (penyembuh) baik dari sisi aspek psikologi maupun ekonomi. Hari ini kita akan bahas ekosistem angklung di Jabar,” katanya.

Menurutnya, angklung punya nilai filosofis seperti kebersamaan, saling menghargai, dan kepatuhan terhadap aturan. Tiga aspek itu menjadi harmoni dalam sebuah permainan angklung. Katanya, banyak kehidupan secara sosial bidaya dapat diterapkan melalui filosofi angklung. “Ti iwung nepi ka padung. Mengisyaratkan masyarakat Jabar memiliki keterikatan dengan bambu,” katanya.

Delegasi Tetap RI untuk Unesco Prof Is Munandar mengingatkan angklung sebagai warisan budaya tak benda pemilik utamanya adalah masyarakat. “Berarti kita semua,” katanya.

Tantangan berat mendatang adalah bagaimana masyarakat berperan mewariskan angklung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Angklung bukan museum yang sifatnya statis, tapi budaya tak benda yang dinamis. “Jadi harus kreatif menyesuaikan perkembangan zaman,” katanya.  

Pada 11 tahun pengakuan angkung oleh dunia ini, Unesco merekomendasikan beberapa hal. Pertama, memperkuat mekanisme dukungan pemulihan kepada para pembawa warisan bduaya tak benda ini  baik di tingkat lokal dan internasional. “Webinar ini salah satu bentuk dukungan kita,” katanya.

Kedua, kata dia, memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan fisibilitas dan pemahaman terhadap warisan tak benda ini. Ketiga, memperkuat hubungan angklung dengan masyarakat.

Webinar diisi diskusi para panelis dari dalam dan luar negeri, di antaranya Profesor Henry Spiller peneliti dari Departement of Music University of California, Davis Amerika Serikat. Kemudian, Dr Paphutsorn Koong Wongratanapitak, seorang antropolog musik asal Thailand jebolan Ethnomusicology Shool of Oriental and African Studies University of London.

Kemudian Tricia Sumaryanto, konduktor dari House of Angklung Wahington DC, Ketua Perhimpunan Pegiat Angklung Indonesia Sam Udjo, Dr. Dinda Satya peneliti angklung, serta Taufik Hidayat dari Saung Angklung Udjo. Selain diskusi tentang angklung, webinar internasional ini juga diisi oleh banyak pertunjukan angklung berkolaborasi dengan budaya lain di Indonesia seperti Aceh, Batak, serta pertunjukan yang dilakukan virtual dari Amerika Serikat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement