REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyoroti masalah stunting yang masih terjadi di Indonesia. BKKBN mengamati masih timbulnya pertanyaan soal apakah anak pendek pasti berstatus stunting.
Salah satu indikator seorang anak dikatakan stunting ialah bertubuh pendek. Namun ternyata indikasi ini tak selalu benar karena ada faktor lain.
"Oh belum tentu. Secara penampilan fisik, anak stunting akan lebih pendek dibandingkan anak-anak seusianya," kata Kepala BKKBN Dr (HC) dr Hasto Wardoyo Sp OG (K) dalam paparannya, Rabu (17/11).
Hasto menyebut banyak faktor yang menyebabkan stunting. Diantaranya kekurangan gizi pada sebelum maupun saat kehamilan.
"Maksudnya disini adalah mulai dari catin wanita remaja yang kekurangan gizi, waktu menikah dan hamil nanti berisiko mendapatkan anak stunting," ujar dokter Hasto.
Selain itu, Hasto menyampaikan anak yang stunting umumnya mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak. Kondisi itu menurutnya menjadikan perkembangan anak tidak optimal. "Akibatnya anak stunting mempunyai kemampuan berpikir dan prestasi belajar yang rendah," ujar dokter Hasto.
Hasto menjelaskan resiko stunting makin kecil bila asupan gizi si ibu memadai selama kehamilan dan menerapkan perilaku hidup sehat. Walau demikian, Hasto menekankan bayi yang lahir sehat tidak otomatis aman dari stunting. Bayi tetap dapat beresiko menjadi anak stunting misalnya apabila bayi tidak diberikan ASI eksklusif, bayi mengalami diare dan masalah kesehatan lainnya.
"Untuk itu, catin perlu sekali mengetahui status gizi dan cara merawat bayi dengan benar untuk menghindari resiko bayi stunting," ucap dokter Hasto.
Untuk menghindari anak stunting, bagi keluarga yang mempunyai balita juga perlu menggali pengetahuan terkait aspek perkembangan anak pada masa 1.000 HPK (hari pertama kehidupan). Anak bisa distimulasi sejak masa kehamilan. Aspek perkembangan anak yang bisa distimulasi sejak kehamilan adalah motorik, komunikasi, kecerdasan juga emosional anak, melalui sentuhan dan suara dari orang tua.
Masa kehamilan hingga usia anak 2 tahun adalah masa yang penting untuk melakukan stimulasi kepada anak. Karena pada masa ini jaringan tubuh, otak dan emosional anak baru terbentuk. Orang tua perlu memastikan gizi yang cukup dan stimulasi yang tepat sesuai usia anak agar tumbuh kembangnya kelak menjadi optimal.
"Stimulasi sejak kehamilan dapat dilakukan dengan cara sederhana, misalnya mengajak janin berbicara, mendengarkan musik dan sentuhan pada perut ibu hamil," ujar dokter Hasto.
Setelah bayi lahir, stimulasi terus dilanjutkan dengan mengajaknya berbicara, bercerita, membacakan buku atau ayat suci. Pijat bayi juga sangat baik dilakukan. Masa 1.000 HPK yaitu sejak masa kehamilan sampai bayi berusia 2 tahun merupakan masa kritis pertumbuhan dan perkembangan sehingga perlu stimulasi agar hasilnya optimal.