Sabtu 20 Nov 2021 00:05 WIB

Tantangan FKUB di Era Digital yang Kian Berat

Tidak sedikit informasi yang negatif itu bisa memicu konflik antar umat beragama. 

Rep: Fauziah Mursid/Fuji E Permana / Red: Agus Yulianto
Wakil Presiden Maruf Amin.
Foto:

Kerukunan Muslim-Kristen 

 

Umat Muslim dan Kristiani telah hidup rukun berdampingan sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bahkan, di kalangan masyarakat Papua Barat--khususnya tokoh-tokoh agama dan masyarakat--menyadari betul kerukunan yang terjalin adalah warisan nenek moyang atau orang-orang terdahulu. 

Sejarah tersebut membuat ikatan kerukunan antarumat beragama di tanah Papua Barat selalu terjaga dengan baik. Di samping itu, kearifan lokal yang dikenal sebagai 'Satu Tungku Tiga Batu' juga menjadi pondasi kerukunan umat beragama di Papua Barat.

Meski demikian, tokoh-tokoh agama dan masyarakat di Papua Barat tetap harus menjaga kerukunan lewat peran, tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Untuk itu, mereka berharap pemerintah pusat maupun daerah lebih bisa bersinergi lagi dengan tokoh-tokoh agama dalam rangka merawat kerukunan umat beragama.

Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua Barat, Ustaz Ahmad Nausrau, mengatakan, kerukunan antarumat beragama yang terjalin baik di Papua Barat bukan hal yang baru. Kerukunan yang terjalin baik sudah dicontohkan oleh nenek moyang atau orang-orang terdahulu.

Pada 5 Februari 1885, Sultan Tidore membawa dua orang misionaris asal Belanda dan Jerman ke Pulau Mansinam, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Dua misionaris tersebut adalah Pendeta Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler.

"Dua orang misionaris ini dibawa ke Pulau Mansinam oleh Sultan Tidore, pada masa itu Sultan Tidore menguasai wilayah Papua," kata Ustaz Nausrau kepada Republika, Kamis (18/11).

Ia menceritakan, dua orang misionaris tersebut difasilitasi dan disediakan kapal untuk mengantar mereka ke Pulau Mansinam. Bahkan, para hulubalang Kesultanan Tidore mengantarkan dua misionaris tersebut sampai selamat ke Pulau Mansinam. Sejarah itulah yang menjadi dasar penyebaran agama Kristen di tanah Papua.

Menurutnya, mungkin saja tanpa bantuan Sultan Tidore, di tanah Papua agama Kristen tidak akan berkembang pesat. Melihat sejarah ini, bisa disimpulkan bahwa kerukunan antarumat beragama di tanah Papua sudah ada semenjak Negara Indonesia belum berdiri.

Ia menceritakan, di wilayah Kabupaten Fakfak dan Kaimana ada kearifan lokal yang menjadi pondasi kerukunan di Papua Barat. Yaitu 'Satu Tungku Tiga Batu' sebagai filosofi kerukunan yang terjalin baik di tanah Papua Barat.

Kearifan lokal ini melambangkan kerukunan umat beragama di Papua Barat, di antaranya agama Islam, Protestan dan Katolik. Jadi, di dalam satu keluarga atau satu marga itu sudah biasa terdiri dari Muslim, Protestan dan Katolik. Jadi diibaratkan sebagai satu tungku, tiga batu.

"Meski mereka berbeda keyakinan, namun dalam kehidupan sosial masyarakatnya, mereka saling membantu, saling bahu-membahu satu sama lain," ucap Ustaz Nausrau.

Anggota FKUB Papua Barat perwakilan umat Katolik, Abraham Yumte, mengatakan, ada hal-hal yang mendasari kerukunan umat beragama di Papua Barat. Pertama, dari sisi sejarah, Injil masuk ke tanah Papua berkat kapal Sultan Tidore mengantarkan misionaris ke Papua Barat.

"Sultan Tidore itu Islam, tapi mengantarkan dua pendeta itu sampai ke tanah Papua, sehingga dari segi historis kami sudah rukun dari dulu," ujarnya.

Selain itu, cia mengatakan, ada kearifan lokal yang disebut 'Satu Tungku Tiga Batu' karena dalam satu keluarga ada tiga agama. Di antaranya Islam, Protestan dan Katolik. Sehingga masyarakat Papua Barat dapat tetap rukun hingga sekarang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement