REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal) IX/Ambon, Brigadir Jenderal (Brigjen) Mar Said Latuconsina, meminta semua pihak menghormati proses hukum untuk menyelesaikan perkara sengketa lahan masyarakat adat Marafenfen dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI AL) di Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.
"Silakan saling tunjukkan bukti-bukti di pengadilan, saya sangat yakin majelis hakim akan mengambil keputusan secara obiektif," kata Said di Kota Ambon, Provinsi Maluku, Jumat (19/11).
Dia merespon insiden kericuhan di Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru setelah hakim Pengadilan Negeri (PN) Dobo memenangkan TNI AL selaku tergugat dalam perkara sengketa lahan dengan masyarakat Desa Marafenfen pada Rabu (17/11). Masyarakat adat Marafenfen tersulut emosi mendengar putusan itu sehingga merusak kantor PN Dobo,
Kemudian, masyarakat melakukan sasi atau penyegelan adat terhadap kantor PN dan mendatangi kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Kepulauan Aru, serta bandara dan pelabuhan, untuk melakukan penyegelan. Hanya saja, penyegelan bandara dan pelabuhan kini sudah dibuka.
Said menyatakan, tudingan terhadap TNI AL yang merampas tanah masyarakat adat Marafenfen tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dia meminta semua pihak menghargai proses hukum yang berlaku. "Tudingan itu jelas tidak benar. Namun karena saat ini permasalahan sudah berada pada tahapan proses hukum, maka kita hargai itu," katanya.
Penasihat hukum masyarakat adat Marafenfen, Samuel Wailerunny, menyatakan, kliennya sudah sepakat untuk memutuskan banding terhadap vonis hakim kasus perdata dalam sidang yang dimenangkan TNI AL. Dia mengatakan, proses pengajuan banding menyisakan waktu 14 hari sejak putusan hakim untuk pihak penggugat memasukkan memori banding.
"Sudah disepakati bahwa kita nyatakan banding," ujar Samuel. Konflik lahan masyarakat adat Marafenfen sudah berlangsung selama puluhan tahun, berawal pada Januari 1992 saat aparat TNI AL mengeklaim sudah ada pembebasan lahan masyarakat di Desa Marafenfen, Kecamatan Aru Selatan seluas 689 hektare untuk pembangunan Lapangan Udara TNI AL.
Masyarakat adat Marafenfen merasa pengambilalihan lahan turun-menurun oleh aparat dilakukan secara paksa. Sehingga kehidupan warga setempat yang bergantung kepada hutan sejak saat itu menjadi terganggu.