REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat banyaknya anomali dalam kebijakan tes PCR dari perspektif perlindungan konsumen. Lembaga ini menilai bahwa kebijakan PCR yang diberlakukan Pemerintah masih belum pro rakyat.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menjabarkan beberapa kebijakan tersebut. Pertama, kewajiban tes PCR untuk penumpang transportasi udara dinilai diskriminatif. Hal ini karena transportasi udara justru paling aman dari Covid-19 karena pesawat dilengkapi dengan HEPA filter yang menyaring segala bakteri dan virus yang mati dalam hitungan menit.
"Berdasarkan data internasional dari IATA, sektor udara tidak menjadi sarana mentransmisikan pandemi. Penerapan prokes sektor udara paling bagus daripada sektor lainnya," ujar Tulus Abadi dalam webinar UII Yogyakarta yang berjudul 'Kontroversi Tes PCR- Bisnis atau Krisis', Kamis (18/11).
Selain itu, mobilitas di darat jauh lebih masif, apalagi dengan interkonektivitas jalan tol Trans Jawa dan bahkan Tol Sumatera. Masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi ataupun bis juga tidak dibatasi dengan kebijakan pengendalian.
"Jalur darat tidak menggunakan pengendalian apa-apa, padahal mungkin saja mereka positif Covid dan bergerak kemana-mana. Hal ini yang saya kira menjadi tidak masuk akal diterapkan di sektor udara," kata Tulus.
Kedua, meskipun Pemerintah telah menyiapkan laboratorium PCR yang cukup banyak, saat ini sebanyak 700 lab, tapi ini tidak sebanding dengan geografis indonesia. YLKI banyak menerima pengaduan masyarakat yang harus menunggu berhari-hari karena tes PCR harus dilakukan di luar kota.
Untuk masyarakat yang tinggal di pulau kecil dan ingin bepergian dengan pesawat, mereka harus menuju ke pulau besar yang menyediakan tes PCR melalui kapal, baru bisa memenuhi persyaratan penumpang pesawat. Padahal dalam perjalanan yang memakan waktu tersebut ada kemungkinan penumpang terpapar virus corona. Pemerintah kemudian akomodatif dengan memperbolehkan antigen setelah banyak protes dari masyarakat.
Kedua, dari segi kebijakan penetapan harga, Pemerintah tidak melakukan product knowledge, sehingga masyarakat tidak cukup terinformasi berapa sesungguhnya biaya pokok PCR sendiri. Masyarakat hanya tahu harganya dari tinggi kemudian turun setelah diperintahkan oleh Presiden Jokowi. "Kenapa dengan mudah Presiden perintahkan turun bisa turun, komponen mana yang harganya bisa turun," tuturnya.
Selain itu, mengenai turunnya harga setelah diprotes masyarakat. YLKI menduga, Pemerintah mungkin tidak akan menurunkan PCR hingga Rp 275 ribu jika publik tidak berbicara."Saya yakin kalau publik tidak bicara, tidak akan diturunkan, ini artinya ada anomali. Karena dari segi kebijakan publik itu tidak sehat," ujarnya.
Ketiga, harga eceran tertinggi (HET) tes PCR di lapangan inkosisten. Implmentasi HET di lapangan kurang efektif, karena masa uji hasilnya terlalu lama 1x24 jam bahkan lebih. Di pesawat ini tidak bisa karena masa uji PCR pesawat yang diperbolehkan yaitu 1x24 jam.
Fenomena ini dimanfaatkan oleh provider dengan marketing 'PCR express atau PCR sameday' dengan harga selagit, mulai dari Rp 600 ribu s.d Rp 1,5 juta. Bahkan menurut Tulus, sampai sekarang masih ditemukan tes PCR dengan harga Rp 495 ribu dengan klaim paket 6 jam selesai.
Keempat, mobilitas masyarakat saat Lebaran bukan kontribusi terbesar melonjaknya kasus positif pada Juni-Juli 2021 yang mengakibatkan pembatasan sosial yang lebih ketat dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Hal ini karena gelombang kedua pandemi saat itu lebih dipicu adanya keterlambatan pemerintah menutup penerbangan internasional (khususnya dari India), sehingga varian Delta merebak.
Saat itu banyak pesawat dan kapal yang berasal dari India dan terbukti mereka positif varian delta. Faktor perjalanan dalam negeri (mudik lebaran) hanya berkontribusi sekitar 30 persen. Dengan merujuk pada berbagai anomali tersebut, lanjut Tulus, YLKI mendesak agar Pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan mengenai tes PCR.