REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) terkait Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 131.13-360 Tahun 2021 tertanggal 24 Februari 2021. Keputusan ini tentang Pengesahan Pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Hasil Pilkada Tahun 2020 di Kabupaten dan Kota pada Provinsi Sumatra Barat.
Dalam keputusan tersebut, Mendagri menetapkan Rusma Yul Anwar dan Rudi Hariyansyah sebagai pasangan bupati dan wakil bupati Pesisir Selatan. Namun, pemohon SKLN yang juga peserta Pilkada 2020, Hendrajoni, mempersoalkan sikap Rusma yang tidak memberikan bukti dan keterangan sebenarnya pada saat mendaftar ke KPU mengenai tindak pidana yang pernah dilakukan Rusma.
"Pelantikan bupati terpilih Rusma Yul Anwar dan pasangannya sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.13-360... adalah cacat hukum," ujar kuasa hukum pemohon, Haryo S Agus Satoto dalam persidangan, Rabu (10/11).
Tindak pidana yang dimaksud ialah Rumsa melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan yang diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Rusma dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan penjara.
Pemohon pun meminta MK membatalkan Keputusan Mendagri itu. Pemohon juga meminta MK menetapkan pasangan Hendrajoni dan Hamdanus sebagai bupati dan wakil bupati Pesisir Selatan.
Di sisi lain, Hakim MK Saldi Isra menjelaskan, berdasarkan ketentuan hukum acara, yang dapat mengajukan pemohon SKLN termasuk termohon ialah lembaga negara, bukan perseorangan. Lembaga negara yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Anda masuk kategori yang mana dari tujuh kategori lembaga yang bisa mengajukan permohonan ini. Itu harus dijelaskan dalam permohonan. Karena pemohon atau termohon itu tidak ada perorangan," kata Saldi.
Selain itu, dia juga menyinggung permohonan pemohon yang meminta MK membatalkan Keputusan Mendagri. Saldi pun menegaskan, MK tidak berwenang membatalkan keputusan lembaga negara.
Dia menuturkan, berdasarkan berkas permohonan yang diterima MK, maka gugatan pemohon Hendrajoni ini tidak sesuai dengan ketentuan pengajuan SKLN. Saldi menasihati agar pemohon memperbaiki atau mencabut permohonan.
"Kalau kuasa pemohon ragu misalnya, mungkin kuasa pemohon berunding lagi dengan prinsipal mau memperbaiki, di-clear-kan betul, atau bisa saja berunding dengan prinsipal ditarik permohonan ini dulu nanti mau masuk ke wilayah apa permohonan barunya," jelas Saldi.
Sebelumnya pada Selasa (9/11), MK juga telah menggelar sidang permohonan SKLN terkait Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 105/P Tahun 2021 tentang Pemberhentian Pejabat Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Pengesahan Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalsel. Pemohon yakni Khairil Anwar meminta Keppres Nomor 105/P/2021 tersebut dicabut.
Alasannya, saat pelantikan itu, Khairil sedang mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan Gubernur Kalsel di MK. Menurut Khairil, pelantikan sebaiknya ditunda dan menunggu proses permohonan yang diajukannya ke MK.
Menanggapi permohonan Khairil, Hakim MK Aswanto pun memberikan nasihat kepada Khairil agar mempelajari hukum beracara di MK. Pemohon harus memahami persyaratan mengajukan permohonan, kedudukan pemohon atau legal standing, serta kewenangan MK.
Sebab, MK tidak berwenang membatalkan Keppres. Aswanto mengatakan, apabila permohonan tidak memenuhi syarat formil, maka MK menganggap permohonan tidak layak untuk diteruskan.