REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) menetapkan tersangka terkait penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Selasa (2/11) menetapkan tujuh orang tersangka terkait kasus yang diduga merugikan keuangan negara triliunan rupiah sepanjang 2013-2019 tersebut.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak mengatakan, tujuh tersangka tersebut, adalah berinisial IS, NH, EM, CRGS, dan AA. Dua tersangka lagi, yakni inisial ML, serta RAR. Tujuh tersangka itu, kata Ebenezer, enam di antaranya adalah para mantan petinggi di kantor pusat, dan wilayah LPEI. Sedangkan satunya, adalah pihak pengusaha.
Namun Ebenezer menjelaskan, penetapan ketujuh tersangka itu oleh penyidik di Jampidsus, belum terkait dengan materi pokok perkara dugaan korupsi yang sedang ditangani kejaksaan sejak Juni itu. Melainkan, dikatakan dia, penyidik menetapkan ketujuh inisial tersebut sebagai tersangka, lantaran tak kooperatif memberikan kesaksian, maupun keterangan saat sebagai saksi ketika dilakukan pemeriksaan terkait dugaan korupsi di LPEI.
“Bahwa pada saat dilakukan pemeriksaan sesuai dengan pemanggilan yang patut untuk dituangkan dalam berita acara, para saksi-saksi (tujuh tersangka) tersebut pada pokoknya meminta agar penyidik mencantumkan siapa potensi tersangka, pasal yang disangkakan, serta penghitungan kerugian keuangan negara,” ujar Ebenezer dalam konfrensi pers via daring, Selasa (2/11). Karena itu, kata Ebenezer, saat hendak dilakukan pemeriksaan terhadap tujuh inisial tersebut, penyidik tak dapat melakukan.
“Dan ketujuh tersangka tersebut, saat akan dilakukan pemeriksaan sebagai saksi, telah beberapa kali menolak memberikan keterangan dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Ebenezer. Atas dasar tersebut, Ebenezer menerangkan, penyidik di Jampidsus, menjerat ketujuh inisial tersebut sebagai tersangka dalam Pasal 21 atau Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 31/1999-20/2001.
Pasal pertama, terkait dengan ancaman pidana terhadap orang-orang, yang melakukan pencegahan, penghalangan, atau perintangan terhadap kewenangan penyidik, dalam melakukan pemberantasan korupsi. Pasa kedua, menyangkut soal ancaman pidana terhadap orang-orang yang memberikan keterangan palsu kepada penyidikan perkara tindak pidana korupsi. “Bahwa selanjutnya, untuk kepentingan penyidikan yang dilakukan, tim penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus melakukan penahanan terhadap ketujuh tersangka tersebut selama 20 hari,” ujar Ebenezer.
Terkait dengan tujuh tersangka itu, catatan pemeriksaan di gedung Jampidsus, semuanya memang pernah tercatat sebagai saksi terperiksa pada 12 Oktober 2021. Mengacu daftar monitor pemeriksaan di gedung Pidana Khusus (Pidsus) waktu itu, tersangka IS. Ia ditetapkan tersangka selaku mantan Direktur Pelaksana UKM dan Asuransi Penjaminan LPEI 201-2018.
Adapun tersangka NH, penyidik menetapkannya sebagai tersangka selaku mantan Kepala Departemen Analisa Risiko Bisnis (ARD)-II LPEI 2017-2018. Sedangkan tersangka EM, ditetapkan tersangka selaku mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Makassar LPEI 2019-2020. Tersangka CRGS, yang ditetapkan tersangka selaku mantan Relationship Manager Divisi Unit Bisnis 2015-2020 LPEI Kanwil Surakarta.
Untuk tersangka AA, penyidikan di Jampidsus menetapkannya sebagai tersangka selaku Deputi Bisnis LPEI Kanwil Surakarta 2016-2018. Tersangka ML, yang ditetapkan tersangka selaku mantan Kepala Departemen Bisnis UKMK LPEI. Terakhir, tersangka RAR, Ia ditetapkan tersangka selaku Pegawai Manager Risiko PT BUS Indonesia.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Supardi, pernah menerangkan perkara dugaan korupsi di LPEI ini. Kata dia, kasus ini terkait dengan pemberian fasilitas kredit dan pembiayaan oleh LPEI terhadap banyak perusahaan-perusahaan ekspor di dalam negeri. Namun dalam pemberian pembiayaan kredit ekspor tersebut terindikasi korupsi. “Ada satu perusahaan itu, yang (merugikan negara) sampai triliunan rupiah,” terang Supardi.
Kata dia mengungkapkan indikasi korupsi tersebut, berupa pemberian fasilitas kredit ekspor dari LPEI terhadap para debitur yang tak tepat sasaran, dan tak sesuai peruntukan. “Ada juga (perusahaan debitur) yang tidak memiliki izin ekspor tetapi dia menerima kredit ekspor LPEI itu,” terang Supardi. Dari penyidikan, juga terungkap, beberapa perusahaan penerima kredit pembiyaan ekspor tersebut, tak memiliki jaminan yang sebanding dengan kontrak dengan LPEI sebagai kreditur. “Intinya, itu kredit macet. Agunannya, tidak sesuai dari kredit yang diberikan,” terang Supardi.