Sabtu 30 Oct 2021 07:10 WIB

Jokowi Diminta Tuntut Kompensasi Krisis Iklim di Glasgow

Setidaknya ada tiga isu yang harus diusung Jokowi dalam pertemuan tersebut.

Rep: Febryan. A/ Red: Agus Yulianto
Presiden Jokowi.
Foto: Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Jokowi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama pemimpin dunia lainnya akan bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (KTT PBB) terkait perubahan iklim, atau disebut COP26, di Glasgow, Skotlandia. Kelompok pemerhati lingkungan meminta, Jokowi mengusung isu kompensasi dampak krisis iklim dalam konferensi tersebut.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim pada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono mengatakan, setidaknya ada tiga isu yang harus diusung Jokowi dalam pertemuan pada 1-2 November 2021 itu. Dia yakin, Jokowi bakal berhasil membawa tiga isu itu karena Indonesia punya rekam jejak mentereng dalam politik internasional.

Pertama, Jokowi harus membahas dan mengupayakan tercapainya kesepakatan terkait kompensasi atas kerusakan akibat krisis iklim. Kesepakatan tersebut setidaknya mencakup soal skema dan sumber pendanaan kompensasi.

Yuyun menjelaskan, hal ini menjadi penting karena dampak krisis iklim sudah dirasakan langsung oleh masyarakat. Salah satu contohnya adalah Siklon Seroja yang melanda Provinsi NTT dan NTB, awal tahun ini. Bencana itu merenggut 60 nyawa lebih dan merusak ribuan rumah.

"Kalau dikalkulasikan fasilitas publik dan pribadi yang rusak, itu kerugiannya bisa triliunan rupiah. Nah, ini kan kerugian akibat krisis iklim dan seharusnya ada yang bertanggung jawab memberikan kompensasi atas kerugian tersebut," ungkap Yuyun kepada Republika, Jumat (29/10).

Yuyun meminta pihak yang membayar kompensasi itu adalah semua negara yang berkontribusi atas krisis iklim. Skema yang bisa digunakan adalah dengan menghitung emisi kumulatif historis setiap negara sejak awal mula penggunaan energi fosil, tepatnya sejak revolusi industri pada pertengahan abad 18 silam. Adapun perhitungan emisi Indonesia tentu baru bisa dihitung sejak tahun 1945 karena periode sebelumnya merupakan tanggung jawab Belanda.

"Emisi kumulatif historis tiap negara itu kan kelihatan persen persennya. Jadi tinggal dikalkulasikan saja. Dari situ mereka harus mengumpulkan pendanaan untuk mengkompensasi si korban akibat bencana iklim ini," ungkap Yuyun.

Skema kompensasi demikian, ujar Yuyun, tak hanya penting bagi Indonesia, tapi juga bagi negara berkembang ataupun negara miskin lainnya. Sebab, negara miskin berkontribusi kecil atas krisis iklim, tapi mereka mendapat bencana yang jauh lebih besar. Padahal, yang kontributor besar atas krisis iklim adalah negara maju dan korporasi besar.

"Coba bayangkan, satu benua Afrika itu kontribusinya hanya 2 persen terhadap emisi global, tapi dia yang paling terdampak krisis iklim seperti kekeringan. Begitu pula Indonesia," ujarnya.

Kedua, Walhi meminta, Jokowi menolak perdagangan karbon. Untuk diketahui, Indonesia sudah melakukan perdagangan karbon dalam beberapa tahun terakhir.

Secara sederhana, perdagangan karbon adalah praktik jual beli kredit karbon. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi karbon dioksida sebanyak 1 ton.

Penjualnya adalah negara berkembang yang memiliki hutan yang luas yang berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida. Pembeli kredit karbon biasanya negara maju atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon melewati ambang batas.

Menurut Yuyun, perdagangan karbon, terutama yang berbasis mekanisme pasar, harus ditolak karena praktik itu sama saja dengan mengalihkan tanggung jawab para pencemar (polluters) atas emisi karbonnya. Sebab, sebuah perusahaan/negara tak akan mengurangi emisi karbonnya selama mereka sanggup membeli kredit karbon. 

Dengan begitu, berarti emisi global akan tetap bertahan di angka yang persis sama. "Jadi, alih-alih mentransformasi bisnisnya (menjadi rendah emisi), mereka justru mengelak dari tanggung jawab itu melalui skema perdagangan karbon," kata Yuyun.

Selain mengalihkan tanggung jawab polluters, ujar dia, perdagangan karbon juga mengancam hak hidup dan hak atas tanah masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang tinggal dekat hutan. Sebab, negara bisa saja mengkonversi satu areal hutan menjadi kredit karbon lalu menjualnya. Areal tersebut tentu tidak bisa lagi diakses masyarakat sekitar. 

Bukan tidak mungkin, kata dia, areal yang dijadikan kredit karbon itu adalah hutan masyarakat adat. Sebagaimana diketahui, masih banyak hutan adat yang belum diakui negara Indonesia hingga sekarang.

"Hal ini dikenal dengan green grabbing atau perampasan tanah atas nama perubahan iklim," ujar Yuyun.

Ketiga, Walhi meminta Jokowi membahas perubahan iklim dengan berbasiskan pada hak-hak dasar masyarakat. Misalnya, hak atas lingkungan yang bersih dan sehat serta hak aman dari bencana.

"Jadi, jangan di anggap ini hanya negosiasi elite, tetapi harus didorong dengan perspektif hak rakyat. Dengan begitu, yang mendapat keuntungan dari pertemuan ini adalah rakyat seluruh dunia, bukannya korporasi atau para polluters," ujar Yuyun.

Menurut Yuyun, Presiden Jokowi akan bisa membawa tiga isu itu dan menghasilkan kesepakatan antar negara peserta. Sebab, Indonesia tercatat pernah berhasil mengkonsolidasikan sekaligus memimpin gerakan Non Blok. "Kita punya sejarah seperti itu dan negara lain pasti melihat hal tersebut," ujarnya.

Hanya saja, Jokowi dalam konferensi ini harus menjadi leader, alih-alih menjadi follower. Jokowi harus menjadi pemimpin bagi negara-negara berkembang dan miskin dalam menghadapi negara maju. Jangan sampai Jokowi membebek kepada kepentingan negara maju.

"Jokowi harus jadi pemimpin bagi negara kecil dan negara berkembang lainnya, yang kontribusinya terhadap perubahan iklim itu kecil, tapi dampak yang mereka alami sangat besar," kata Yuyun menegaskan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement