REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan, Dian Fath, Fauziah Mursid, Antara
Kebijakan penurunan tarif tes PCR dinilai dilakukan sepihak oleh pemerintah. Penurunan harga PCR juga tidak disertai iktikad subsidi dari pemerintah.
Kritik muncul dari turunnya harga PCR tanpa disertai subsidi. Ahli mendorong pemerintah mengkaji ulang dikarenakan risiko besar yang bisa dialami masyarakat luas.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Wahyono mengatakan, penurunan harga yang mendesak ini dapat memengaruhi kualitas testing di Indonesia menjadi turun. “Kebijakan pemerintah seperti tawar-menawar. Seharusnya pemerintah mengkaji ulang kebijakan ini dan bukan diturunkan harganya,” ujarnya ketika dihubungi wartawan, Kamis (28/10).
“Kami melihat, pemerintah terlalu gampang menurunkan harga. Karena, jangan sampai kualitas digadaikan demi harga yang lebih rendah. Ini terlalu berisiko,” ucapnya.
Dari sisi pelaku industri, Bumame Farmasi mengatakan, penurunan tarif tes PCR membuat para penyedia layanan tes PCR harus memutar otak. Mereka harus mengakali harga bahan baku seperti reagen yang sangat tinggi dan biaya operasional bagi tenaga kesehatan dan bahan baku laboratorium mandiri.
Perwakilan Bumame Farmasi, Natasha Febrina mengatakan, di Indonesia bahan baku habis pakai, mayoritas masih diimpor. Selain itu, para penyedia layanan PCR juga harus mempertimbangkan sumber daya manusia yang bekerja di laboratorium dan di lapangan, para tenaga kesehatan dan analis laboratorium yang menjadi garda terdepan saat ini.
“Pertimbangan kami sebagai penyedia layanan kesehatan, perlu diadakan pertemuan dengar pendapat antara penyedia jasa layanan PCR dengan pemerintah, dan sosialisasi sangat dibutuhkan jika pemerintah ingin mengkaji harga tes usap. Hal ini demi menemukan jalan tengah, terkait pengkajian harga PCR yang terjangkau bagi semua kalangan, sehingga pemerintah dapat memberikan solusi alternatif terkait bahan baku reagen dan mayoritas bahan baku lainnya yang sifatnya masih impor,” ucapnya.
Menurutnya, pertimbangan lain yang menjadi penentu harga selain bahan baku, banyak biaya lainnya seperti APD standar Kementerian Kesehatan, kelengkapan yang menjamin keamanan tenaga kesehatan dan upah para tenaga kesehatan, dokter, analis laboratorium dan juga kebutuhan. “Hal tersebut habis pakai lainnya yang menjadi salah satu pertimbangan kami dalam menurunkan tarif PCR sesuai arahan pemerintah,” ucapnya.
Sebelum pemerintah mengetok kebijakan penurunan harga tes PCR, Kadin Indonesia sudah bersuara. Waketum Kadin Indonesia Bidang GCG & CSR Suryani Motik mengatakan, margin 50 persen sampai 60 persen yang disebutkan pemerintah belum termasuk komponen jasa pelayanan biaya operasional, tenaga kesehatan dan dokter yang diperlukan dalam memproses sampel serta memvalidasi hasil PCR
“Mungkin saja diturunkan. Tetapi harus ada subsidi dari pemerintah agar tarifnya dapat ditekan hingga mencapai Rp 300 ribu,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (26/10).
Pemerintah sudah menetapkan batas tarif tertinggi pemeriksaan PCR turun menjadi Rp 275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali. Lalu sebesar Rp 300 ribu untuk luar pulau Jawa dan Bali.
Hasil pemeriksaan RT-PCR dengan menggunakan besaran tarif tertinggi tersebut dikeluarkan dengan durasi maksimal 1x24 jam dari pengambilan tes usap (swab) pada pemeriksaan RT-PCR. Batasan tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR tersebut telah ditetapkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR, dan mulai berlaku hari sejak Rabu (27/10).