REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengusulkan partai politik (parpol) yang mengusung kepala daerah yang terbukti korupsi dilarang mengikuti pilkada berikutnya. Menurutnya, hal ini sebagai hukuman yang bisa memberikan efek jera selain pidana.
"Partai yang mengusung si kepala daerah yang terbukti korup itu di pilkada mendatang tidak boleh mengusung calon lagi," ujar Titi dalam diskusi daring bertajuk "Kolusi, Dinasti, Korupsi" pada Senin (25/10).
Titi mengatakan, parpol hanya takut pada dua hal, yakni tidak bisa menjadi peserta pemilu dan tidak terpilih atau mendapatkan kursi di badan legislatif. Hukuman tidak bolehnya ikut pemilihan ini karena secara moral parpol tersebut sebagai sumber rekrutmen politik telah gagal mencalonkan kader atau kandidat kepala daerah yang berkualitas.
Hal itu juga sebagai konsekuensi atas tindakan korupsi yang tergolong kejahatan luar biasa. Sementara, Titi melanjutkan, penegakan hukum di Tanah Air cukup lemah terhadap praktik politik uang pada pemilu maupun pilkada sebagai awal mula terjadinya korupsi yang lebih besar.
Hukuman pidana pun tak cukup membuat koruptor jera. Beberapa kali setelah bebas dari balik jeruji besi, mantan koruptor kembali mencalonkan diri di pilkada.
Bahkan, ketika ada eks koruptor yang mendapatkan kesempatan terpilih lagi di pilkada, justru kembali melakukan tindakan korupsi. Padahal, parpol sudah seharusnya menghadirkan calon kepala daerah yang berintegritas dan berkomitmen tidak melanggar ketentuan perundangan-undangan.
"Hukuman-hukumannya itu mungkin tidak lagi model pemidanaan karena kalau sekadar mengandalkan pemidanaan senyum-senyum pakai rompi kuning dipidana sebentar habis itu jadi calon lagi. Harus ada efek jera yang lebih mendasar yaitu pencabutan hak administrasi pencalonan," kata Titi.
Dia juga menyinggung "cancel culture" atau budaya boikot di Korea Selatan yang bisa juga diterapkan di Indonesia. Masyarakat di sana sama sekali tidak memberikan ruang bagi pejabat publik yang telah mengkhianati publik dan melakukan penyimpangan dari nilai-nilai masyarakat, seperti korupsi dan lainnya.
Titi mendorong masyarakat Indonesia kritis terhadap proses elektoral dan demokrasi. Warga sudah seharusnya tidak memberikan pujian atau kehormatan bagi mereka yang melakukan tindakan korupsi, apalagi memberikan ruang untuk mereka mengikuti pemilihan di kemudian hari.