REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan sampah di Indonesia kian serius. Selain karena sejumlah daerah belum mengambil keputusan taktis membangun solusi yang sistematik yang berdampak kepada kerusakan lingkungan akibat pengelolaan sampah. Salah satunya adalah pengelolaan sampah di Kota Tangerang, yang kini menjadi sorotan pemerintah pusat. Ini lantaran Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rawa Kucing yang dikelola Pemkot Tangerang sudah mengalami kelebihan beban dan menimbulkan dampak lingkungan ke sekitarnya.
Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Guntur Sitorus, menilai perlu keseriusan pemda dalam penanganan masalah sampah. Menurut dia, yang paling mendasar adalah prioritas dan keberpihakan terhadap pengelolaan sampah masih kurang, terutama penyediaan anggaran yang memadai, seringkali pemda mengatakan tidak punya uang.
Selain itu, kata dia, masih banyak yang menganggap sampah itu adalah sumber daya yang dapat dijual dan menghasilkan untung. "Betul bahwa sebagian kecil sampah dapat dijual seperti plastik, kertas, logam, tapi bagian terbesar dari sampah perlu pengelolaan dan membutuhkan biaya," kata Guntur di Tangerang, Jumat (22/10).
Ia berkata, secara total hasil yang diperoleh dari sampah tidak dapat menutupi biaya pengelolaan secara keseluruhan. Sehingga tetap diperlukan anggaran untuk biaya pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah adalah kewajiban, cost center, dan bukan profit center, tidak bisa full cost recovery. "Kalaupun ada hasil dari sampah, itu dianggap bonus aja,” ucap Guntur.
Sejatinya, Presiden Joko Widodo sudah berupaya menyelamatkan kedaruratan sampah nasional lewat regulasi pengelolaan sampah di 12 Kota besar melalui pengesahan Peraturan Presiden No. 35/2018, yang diberikan status sebagai Proyek Strategis Nasional dalam Perpres 109/2021. Daerah-daerah yang sudah darurat pengelolaan sampahnya seperti Jakarta, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Semarang dan Surabaya, diberikan fasilitas prioritas dan fasilitasi khusus untuk membangun instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL).
Selain itu sudah ada Peraturan Pemerintah yang mendorong semua instrumen pemerintahan dari menteri, lembaga, kepala daerah, untuk bekerja sama mendorong dan mempercepat pelaksanaan setiap Proyek Strategis Nasional dengan berbagai kemudahan. Meskipun demikian, pemerintah daerah banyak yang masih gagal melihat kedaruratan yang dilihat oleh pemerintah pusat.
Ditegaskan Guntur, karena PLTSa/PSEL adalah bagian Proyek Strategis Nasional (PSN), Pemerintah Pusat perlu konsisten dalam menegakkan peraturan dan menjamin, mendorong, dan memastikan pemda agar tidak ragu dan tidak takut melaksanakan proyek PSEL. Karena kelihatannya banyak pemda masih ragu dan khawatir untuk melaksanakan program ini, terutama karena kontraknya panjang, 20 – 25 tahun. Sehingga pemda ketika mau tanda tangan berpikirnya menjadi sangat panjang. Padahal jika mandek, masyarakat jelas akan dirugikan.
Pelaksanaan PLTSa/PSEL melibatkan dana investasi badan usaha dalam penyelenggaraannya, sehingga pendanaannya bukan bersumber dari dana APBN atau APBD. Meskipun demikian, pemda membayar biaya layanan untuk setiap ton sampah yang diolah dalam aset tersebut.
Harapannya, biaya layanan pengolahan sampah ini kedepannya dapat ditutup dengan penarikan retribusi sampah dari masyarakat oleh pemda. Keterlibatan dana investasi dan retribusi inilah yang membedakan pelaksanaan program PLTSa/PSEL dari program pelaksanaan proyek-proyek lainnya yang sudah jauh lebih dikenal dan dipahami banyak elemen pemerintah daerah.
“Banyak hal yg menyebabkan pembangunan PSEL tidak berjalan mulus bahkan dapat dikatakan mandek," ucap dia.
Setiap daerah punya kendala dan masalah masing-masing. Namun demikian secara umum permasalahan tersebut terjadi sejak tahap persiapan, penyusunan pra feasibility study, penyiapan dokumen lelang dan penyusunan kontrak, proses lelang, negosiasi kontrak, penandatangan kontrak dan implementasi kontrak. "Pada setiap tahapan tersebut mempunyai masalah sendiri-sendiri," ujar Guntur.
Disampaikan Guntur, ada pemda sudah punya visi yang baik dalam hal pengelolaan sampah, walaupun sebagian lagi masih belum. Bahkan, seringkali, banyak dalih dikeluarkan pemerintah daerah hingga masalah sampah diabaikan.
Padahal pengelolaan sampah yang mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan dapat diganjar dengan hukuman pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100 juta sampai dengan Rp 5 miliar oleh Undang Undang No. 18 Tahun 2018.
“Kalau PLTSa mandek, artinya masyarakat tidak mendapatkan pelayanan publik yang memadai, sampah yang tidak terkelola dapat berdampak pada kesehatan, perubahan iklim akibat gas rumah kaca, estetika, dan keasrian kota. Apalagi terus-menerus mandek, maka tentunya biaya/kerugian sosial akan terus meningkat tajam," kata Guntur.
Lebih lanjut, UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah tegas menyebutkan bahwa pelaksanaan Proyek Strategis Nasional merupakan sebuah kewajiban bagi kepala daerah yang ditugaskan. Ada sanksi bagi kepada Kepala Daerah apabila tidak melaksanakan Proyek Strategis Nasional, termasuk pemberhentian dari sementara hingga permanen.
Untuk itu dalam upaya memenuhi aspek pelayanan publik, dalam hal bilamana kepala daerah berhalangan, maka kewajiban pelaksanaan Proyek Strategis Nasional akan dilaksanakan oleh Plt. Kepala Daerah yang menggantikan. Sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya, proyek ITF Sunter tetap dijalankan oleh Plt Gubernur yang ditunjuk Kemandagri karena gubernurnya berhalangan.