REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Senior Analis Drone Emprit, Yan Kurniawan, menilai perkembangan digital ikut mempengaruhi pola masyarakat dalam memperoleh sumber informasi. Ia mengungkapkan, saat ini publik justru cenderung menjadikan berita di media online untuk melegitimasi opininya di sosial media.
"Misalkan gini, saya nggak suka dengan Pak Presiden Jokowi, saya cari link berita yang beritanya negatif terhadap Pak Presiden. Saya masukin akun sosmed saya, saya ngomong statement tidak suka dengan presiden dengan legitimasi sumber berita tersebut," kata Yan dalam diskusi daring bertajuk 'Hoaks, Kualitas Pers, dan Hegemoni Media Sosial', Sabtu (23/10).
Selain itu, Yan juga melihat ada dua pola media partisan. Pertama media yang cenderung mendukung pemerintah, dan yang kedua, media yang oposisi terhadap pemerintah. Menurutnya media partisan tersebut relatif stabil, berbeda dengan media mainstream yang terombang-ambing tergantung selera publik.
"Bisa dibilang adalah posisi media online di sosmed itu tergantung dari apa yang dia (publik) konsumsi dan dia yakini," ujarnya.
Kendati demikian Yan memastikan media mainstream masih dipercaya oleh publik sebagai referensi. Hanya saja, ia menambahkan, posisi media mainstream saat ini tidak seperti dulu yang memiliki kemampuan besar mempengaruhi publik.
"Sekarang terbalik, selera publik yang menentukan isi pemberitaan. Jadi kalau ditanya masih nggak (media mainstream) jadi referensi, masih. Tapi lebih untuk menguatkan opininya mereka. hanya memberikan data fakta dan informasi," tuturnya.
Menurutnya hal ini lah yang menjadi tantangan bagi media massa saat ini. Media massa diharapkan bisa segera beradaptasi dengan kondisi seperti ini.
"Kedepan bayangan saya sosmed itu akan terus berkembang, media massa kalau dia nggak adaptif itu akan ketinggalan," ucapnya.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut, mengatakan disrupsi digital tidak hanya permasalahan di Indonesia, tetapi juga jadi tantangan di seluruh dunia. Ia menduga tidak adanya regulasi yang mengatur media sosial jadi salah satu faktor.
"Media sosial itu unregulated, media mainstream itu regulated, kaki kita diikat sama undang-undang, salah sedikit disemprit sama Dewan Pers atau publik, sementara medsos itu unregulated," ucap Wenseslaus.