Rabu 13 Oct 2021 09:07 WIB

Pakar Sebut Integrasi NIK Menggantikan NPWP Perlu Dikaji

Jika terjadi kebocoran, maka seluruh data termasuk keuangan bisa bocor karena SNI.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ilham Tirta
Suasana Rapat Paripurna DPR pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Foto: ANTARAAprillio Akbar
Suasana Rapat Paripurna DPR pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 7 Oktober 2021. Selain mengatur dan mengubah beberapa aturan perpajakan, UU HPP juga mengatur perihal integrasi data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan. Artinya, Nomor Induk Kependudukan (NIK) juga berfungsi sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Pakar Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Gitadi Tegas Supramudyo berpendapat, integrasi NIK dengan NPWP tersebut perlu dikaji secara mendalam. “Pengintegrasian NIK menjadi NPWP membutuhkan upaya ekstra serius. Karena perlu pengkajian komprehensif-proyektif, juga terkait pengalaman buruk kita beberapa waktu lalu,” ujar Gitadi di Surabaya, Rabu (13/10).

Pengalaman buruk yang dimaksud Gitadi perihal mega korupsi KTP-el yang hingga kini persidangannya belum selesai. Meskipun, kata Gitadi, integrasi antara kependudukan dengan perpajakan sebagai langkah perwujudan dari wacana penerapan single identity number (SIN) merupakan kebutuhan. “Pada dasarnya SIN adalah sebuah kebutuhan dalam kehidupan masyarakat maju atau modern,” kata Gitadi.

Gitadi menambahkan, dirinya bukan tidak sepakat dilakukannya integrasi data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan. Namun, kata dia, penerapan single identity number di Indonesia membutuhkan usaha yang keras dan komprehensif. Mengingat luasnya wilayah dan aksesibilitas masyarakat.

“Meski keberadaan SIN adalah keharusan, perlu effort ekstra keras, kuat, dan komprehensif serta kepemimpinan yang kuat, agar institusi-institusi negara tidak membuat berbagai ID sendiri-sendiri. Juga terkait dengan luasnya wilayah, keterjangkauan pelayanan di pelosok-pelosok negeri, tingkat pendidikan dan kemasyarakatannya,” ujar Gitadi.

Hal lain yang menurutnya menjadi problematika adalah terkait seringnya terjadi kebocoran data. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, kebocoran data yang terjadi dalam institusi pemerintah, salah satunya BPJS. Hal ini menurutnya menambah kekhawatiran jika SIN diterapkan. Pasalnya, jika SIN diketahui, seluruh data termasuk keuangan bisa bocor.

Dalam upaya mengantisipasi kebocoran data tersebut, Gitafi mengatakan, pemerintah perlu membuat regulasi yang ketat untuk menjaga keamanan data masyarakat. “Antisipasi terhadap kebocoran data pribadi untuk kepentingan tertentu seperti kejahatan juga harus dibuat regulasi yang ketat dan keras,” ujarnya.

Gitadi menambahkan, pelaksanaan dari pemberlakuan SIN di Indoneaia memerlukan proses lama dan bertahap, mengingat banyaknya jumlah penduduk. Tentunya dengan mempertimbangkan dan memetakan kondisi faktual dalam masyarakat. Maka dari itu, lanjut dia, jika belum benar-benar siap, alangkah lebih baik diperbaiki dulu pendataannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement