REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Cicitan politisi Partai Gerindra, Fadli Zon di media sosial Twitter yang meminta Densus 88 dibubarkan menuai pro-kontra.
Fadli Zon meminta Densus 88 dibubarkan akibat menggunakan narasi berbau Islamofobia dalam menunaikan fungsinya. "Narasi semacam ini tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamofobia. Dunia sudah berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas, tapi jangan dijadikan komoditas," demikian cuitan Fadli di akun Twitter-nya.
Eks narapidana kasus terorisme yang kini memimpin Pondok Pesantren Al Hidayah-Program Deradikalisasi BNPT, Khairul Ghazali memberikan opininya tentang narasi bubarkan Densus sebagaimana disampaikan Fadli Zon
Khairul mengatakan narasi bubarkan Densus 88 yang dicetuskan anggota DPR Fadli Zon, tentu sesudah melakukan riset dan monitoring di lapangan. Jadi masyarakat terutama pejabat negara dan stakeholder jangan cepat “kebakaran jenggot” dan naik darah, seolah-seolah dengan ide tersebut negara ini akan chaos dan hancur diporak-porandakan teroris. Narasi Fadli Zon tersebut muncul sesudah petisi eks napiter yang minta BNPT dibubarkan karena dianggap “tidak beres” kerjanya.
Menurut Khairul, sebenarnya kedua narasi tersebut, yang hampir sama nadanya, bedanya yang satu dari anggota dewan dan yang satu lagi dari eks teroris, tidak perlu dikicaukan terlalu luas karena hanya menguntungkan “kelompok radikal” yang seolah-olah mendapat “amunisi” baru, sesudah amunisi kemenangan Taliban di Afghanistan.
“Teroris di negara kita hanyalah “batu kerikil” kecil yang yang tidak perlu dibesar-besarkan, karena hanya membuat jaringan kelompok tersebut merasa terangkat dan terpublikasikan. Ngapain kita kalah dengan gertak kelompok tersebut,” kata dia kepada Republika.co.id, melalui sambungan telepon, Selasa (12/10).
Padahal menurut dia, lembaga-lembaga negara punya legalitas dan otot yang super, yang dilindungi undang-undang dan power untuk menjaga kedaulatan dan keamanan NKRI, dari ideologi dan paham apapun yang bertentangan dengan ideologi negara.
“Nggak usah repot-repot ditanggapi, itu hanya membuat kelompok radikal “tepuk tangan” dan tersenyum bahagia. Gunakan saja peri bahasa, “anjing menggonggong kafilah berlalu,” tutur dia sembari mengingatkan penindakan terhadap aksi-aksi teroris harus terus berjalan, tegas dan terukur. “Tetapi pembinaan dan deradikalisai juga harus terukur, bijaksana, dan sampai ke akarnya,” tutur dia.