REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket menilai konferensi perubahan iklim PBB atau COP26 di Glasgow menjadi momen penting bagi masyarakat internasional untuk bersatu dan berkomitmen pada hasil Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bulan Juli lalu. Piket berbicara dalam acara diskusi Ambassadors Roundtable: Raising Ambitions for a Climate-Secure Future yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).
IPCC mengingatkan kembali betapa seriusnya krisis perubahan iklim. COP26 akan berlangsung bulan depan.
"Pesan IPCC sangat jelas, pertama-tama aktivitas manusia mengakibatkan bumi menghangat dengan sangat cepat, dan satu-satu cara untuk mengatasinya mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi nol pada 2050," kata Piket.
IPCC mengatakan, tambah Piket, beberapa dampak perubahan iklim sudah tidak dapat dihindari lagi apa pun yang dilakukan masyarakat internasional. Karena itu dunia hanya dapat beradaptasi dan memitigasi dampaknya.
"Uni Eropa melakukan itu di benua Eropa, kami mengajukannya ke United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) untuk kontribusi kami setidaknya mengurangi gas rumah kaca setidaknya 55 persen pada 2030 dibandingkan tahun 1990," katanya.
Piket mengatakan target tersebut mungkin target paling ambisius di dunia. Sementara itu strategi jangka panjangnya mencapai emisi nol persen pada tahun 2050. Ia menambahkan target-target tersebut ambisius dan sulit dicapai. Tapi kini target tersebut sudah ditetapkan menjadi hukum dan harus dilakukan.
Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Mahendra Siregar mengatakan COP26 bulan depan akan menjadi tonggak penting bagi seluruh dunia untuk menyepakati sejumlah isu kunci. Termasuk Pasal 6 Perjanjian Paris mengenai Kerja Sama Pasar dan Non-Pasar, pembiayaan jangka panjang dan isu-isu lainnya.
"Isu-isu harus diselesaikan tahun ini agar Perjanjian Paris dapat diimplementasikan dengan efektif dan penuh, tentu rintangan terbesar Perjanjian Paris adalah ketidakpatuhan pada implementasinya terutama pada pembiayaan iklim dan kerja sama teknologi," kata Mahendra.
Bila isu-isu tak terselesaikan, tambah Mahendra, maka proses multilateral akan kehilangan kepercayaan sebagai wadah untuk mengatasi perbedaan. Padahal itu satu-satunya kerangka untuk mengatasi perubahan iklim dan isu-isu global lainnya yang membutuhkan koordinasi internasional.