Senin 11 Oct 2021 12:12 WIB

Nikah Siri Ditulis di KK Bentuk Perlindungan Warga Negara

Semangat perlindungan justru berpotensi menabrak norma dan keberadaan lembaga lain.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Penghulu menikahkan pasangan secara siri (ilustrasi).
Foto: Dok Kemenag Bengkulu
Penghulu menikahkan pasangan secara siri (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie menyatakan, aturan yang memperbolehkan status nikah siri di kartu keluarga (KK), sebagai bentuk perlindungan warga negara.

Secara substansial, Tholabi dapat menangkap spirit perlindungan terhadap hak-hak warga negara, khususnya bagi anak yang lahir dari pasangan nikah siri melalui Permendagri Nomor9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilkan Akta Kelahiran.

"Hanya saja, semangat untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak warga negara ini justru berpotensi menabrak norma dan keberadaan lembaga lainnya. Di sini letak krusialnya," kata Tholabi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (11/10).

Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia itu menegaskan, dampak dari penulisan status perkawinan dengan sebutan 'nikah belum tercatat' atau 'kawin belum tercatat' di KK memberi efek yang tidak sederhana.

"Meski Dukcapil menggarisbawahi bahwa penyebutan tersebut bukan dalam rangka melegitimasi pernikahan siri. Namun, dampaknya cukup besar," kata Tholabi mengingatkan. Dia menyebut, dampak potensi yang muncul dari aturan tersebut, secara logis bisa menumbuhsuburkan praktik nikah siri di tengah-tengah masyarakat.

Padahal, prinsip dasar perkawinan adalah asas pencatatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu setiap perkawinan dicatat menurut undang-undang. "Di poin ini, penulisan 'kawin belum tercatat' dalam kartu keluarga pelaku nikah siri menjadi kontraproduktif," ujar Tholabi.

Dia berpendapat, ketentuan yang dirilis Kementerian Dalam Negeri justru merepotkan bagi mereka pelaku nikah siri saat melakukan pencatatan perkawinan melalui kantor urusan agama (KUA). "Dalam adminsitrasi yang dikenal adalah kawin, tidak kawin, cerai hidup, dan cerai mati. Tidak ada nomenklatur nikah belum tercatat. Ini akan merepotkan pelaku nikah siri dan juga petugas KUA," kata Tholabi.

Selain itu, keberadaan nomenkaltur "nikah belum tercatat" justru akan berdampak ketidakpastian hukum terhadap perempuan. "Misalnya, saat suami melakukan tindakan kekerasan terhadap istri, potensial tidak bisa dijerat UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) namun hanya bisa dijerat tindak pidana umum," ungkap Tholabi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement