REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menteri Kehutanan periode 2004-2009 sekaligus pemerhati lingkungan, MS Kaban mendorong Kebun Raya Bogor (KRB) menjadi objek wisata konservasi tumbuhan dan hewan yang mampu adaptif terhadap perubahan zaman, dengan tetap mempertahankan keseimbangan.
"Kebun Raya itu dikenal dunia, mau tidak mau akan dikunjungi, sehingga peluang untuk menjadi kawasan wisata sangat terbuka. Atau menjadi kawasan wisata konservasi," kata Kaban saat meninjau Kebun Raya Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (5/10).
Menurut Kaban, banyak ahli dan pakar yang bisa memberikan masukan dan kajian mengenai fungsi Kebun Raya Bogor sebagai tempat konservasi yang dapat diimbangi menjadi tempat wisata yang adaptif. Kebun seluas mencapai 87 hektare yang berusia 204 tahun tersebut memiliki koleksi tumbuhan sekitar 222 suku (famili), 1.257 marga, 3.423 jumlah spesies, dan 13.684 spesimen.
Tempat yang menjadi kebanggaan Kota Bogor itu juga telah menjadi tujuan wisata bagi banyak wisatawan Indonesia dan dunia. Sehingga dari sisi terminologi wisata, menurut Kaban, perlu ada pengelola yang sifatnya menata bisnis agar mampu menghasilkan serta mampu menjaga keseimbangan lingkungan atau ekosistem di dalamnya.
Selain itu, sambung dia, kawasan Kebun Raya Bogor harus tetap mempertahankan citra kawasan konservasi. Hal itu karena menjadi sumber perkembangan ilmu pengetahuan yang harus tetap terjaga dan terpelihara. "Jadi kalau saya lihatnya ini tidak dipertentangkan, tapi dia harus dicari titik keseimbangan, karena konservasi dan wisata itu menjaga keseimbangan," kata Kaban.
Dia menilai, pengelolaan Kebun Raya Bogor saat ini, sudah cukup teratur dan tertata baik dengan mempertahankan nilai konservasi yang masih terjaga dengan maksimal. "Sebagai contoh dulu saya melihat sarang lebah dan kelelawar dan itu menandakan alam konservasi Kebun Raya Bogor berjalan baik," kata Kaban.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar menyampaikan, perlu adanya sebuah parameter untuk melihat Kebun Raya Bogor dari sudut pandang ekonomi dan wisata. Komersialisasi Kebun Raya Bogor, lanjut dia, bisa mempunyai dampak negatif dan juga positif di dalam titik batas tertentu.
Untuk itu, ia berharap, adanya kajian lebih lanjut mengenai daya tampung wisatawan yang tidak boleh mengganggu aktivitas pelestarian ribuan tumbuhan. Hermanto mendukung langkah inovasi edukasi digital yang dilakukan secara daring oleh pengelola Kebun Raya Bogor kepada 10 ribu pelajar selama lebih kurang 1,5 tahun pandemi Covid-19.
"Batas maksimal kunjungan di KRB ini berapa agar tidak terlalu padat. Atau luasan kawasan ini berapa, yang dipakai untuk komersialisasi berapa sehingga tidak mengganggu konservasi," jelas Hermanto.
Pengelola KRB, PT Mitra Natura Raya (MNR) berencana menyediakan eduwisata malam hari bertajuk Glow. Fasilitas wisata sinar laser itu bertujuan untuk mengenalkan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia, yang disampaikan dengan cara yang menarik untuk generasi milenial saat ini. Hanya saja, konsep wisata itu ditolak lima kepala Kebun Raya Bogor periode 1981-2008.
Mereka adalah Prof Made Sri Prana, Usep Soetisna, Suhirman, Dedy Darnaedi, serta Irawati. Kelima orang itu mengirim surat terbuka berjudul 'Marwah Kebun Raya'. Intinya mereka tidak setuju dengan adanya wisata malam di KRB yang dianggap bisa menggangu ekosistem dan habitat asli di dalamnya, demi kepentingan komersialisasi.