Kamis 30 Sep 2021 10:22 WIB

Sejarah PKI Berjaket PNI Minta HMI Dibubarkan

Letjen Ahmad Yani mengingatkan Ali Sastroamijoyo, PNI tidak ikut-ikutan PKI

Warga mengamati patung keganasan Partai Komunis Indonesia (PKI) seusai mengikuti upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di areal Monumen Korban Keganasan PKI di Kresek, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Kamis (1/10/2020).
Foto: Antara/Siswowidodo
Warga mengamati patung keganasan Partai Komunis Indonesia (PKI) seusai mengikuti upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di areal Monumen Korban Keganasan PKI di Kresek, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Kamis (1/10/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengungkapkan, sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), Sukarno sempat gusar ketika partai berideologi marhaenisme itu diisi tokoh-tokoh yang dianggapnya sudah tua dan tidak progresif revolusioner. Maka dari itu, kata dia, pada Kongres PNI 1963 di Purwokerto, sejumah tokoh PNI disingkirkan.

"Yang mengejutkan, para aktivis PKI (Partai Komunis Indonesia) justru dimasukkan dalam kepengurusan PNI. Misalnya Karim DP, Satya Graha, Walujo, Djarwoto. Bahkan mereka menduduki posisi-posisi penting di dalam kepengurusan partai dan media massa. Inilah yang disebut PKI berjaket PNI," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas tersebut di Jakarta, Kamis (30/9).

Selanjutnya, menurut Ginting, ketika sidang Badan Pekerja Kongres (BPK) 1 PNI di Bandung pada 1964, PNI menafsirkan marhaenisme sebagai marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi Indonesia. Keputusan itu dikenal dengan istilah Deklarasi Marhaenis.

Di situ, lanjut Ginting, PNI menonjolkan unsur marxisme sebagai suatu paham revolusioner yang berdiri di atas sendi-sendi aksi massa yang revolusioner. Maka, unsur buruh dan tani ditetapkan sebagai soku guru partai dengan tidak mengurangi peranan golongan-golongan progresif revolusioner lainnya. Sekaligus menyingkirkan unsur-unsur nonmarhaenisme di dalam kepemimpinan partai.

Menurut Ginting, TNI dan sejumlah partai Islam, tidak menyukai perubahan PNI menjadi semakin ke kiri dan menyatu dengan PKI. Hal itu juga sudah terlihat sejak 1958, sambung dia, ketika Sukarno dan Angkatan Darat berbeda sikap dalam menyelesaikan masalah PRRI/Permesta.

"Para pemimpin Angkatan Darat lebih cenderung menghendaki penyelesaian secara damai. Sedangkan Sukarno berpendapat rehabilitasi terhadap pemberontak hanya mungkin dengan penyerahan mereka terlebih dahulu," kata kandidat doktor ilmu politik Unas itu.  

Baca juga : TNI Disusupi PKI Dinilai Tudingan Basi

Kemudian, kata Ginting, Sukarno mencari dukungan dari PKI dan Nahdlatul Ulama (NU). Di sisi lain, Sukarno malah lebih dekat dengan PKI daripada dengan PNI. Ginting menyebut, Sukarno mengontrol dengan memperkuat kedudukan Ruslan Abdul Gani dalam kepemimpinan PNI. Namun, hal itu tetap tidak efektif. Ruslan dianggap kurang progresif revolusioner.

"Alasan itulah yang digunakan untuk memasukan aktivis PKI, seperti Karim DP dan lain-lain ke dalam PNI. Itulah PKI berjaket PNI," ujar Ginting yang lama menjadi wartawan politik di sejumlah media massa.

Dari situlah, kata Ginting, PNI sebagai pemenang Pemilu 1955 justru dianggap sebagai pengikut setia PKI. Hal ini, karena pengurus PNI nyaris tanpa kreasi dan imajinasi. PNI, sambung dia, mengeluarkan rumusan-rumusan copy paste milik PKI. Misalnya, ikut-ikutan membuat tuntutan bubarkan ABRI, bubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), istilah setan kota, kapitalis birokrat, dan lain-lain.

Ginting menyampaikan, hal itu juga dikemukakan oleh Ketua Umum PNI Ali Sastroamijoyo pada ulang tahun ke-45 PKI. Dia menyatakan, PNI bersedia bekerja sama dengan PKI. Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1959-1960, sudah terang-terangan menyatakan ketidaksukaan kedekatan Sukarno dengan PKI. Hatta akhirnya mundur dari posisi wakil presiden, karena Sukarno dianggap sudah tidak bisa diberitahu lagi.

"Termasuk keputusan Sukarno yang otoriter, membubarkan dua partai, yakni Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), karena berbeda sikap dengan dirinya. Bahkan dianggap terlibat mendukung PRRI/Permesta pada 1958-1959," ujar pengamat politik dari Unas ini.

Dengan disingkirkannya Masyumi sebagai partai kedua terbesar, kata Ginting, maka tinggal PNI, NU, dan PKI. Dari ketiga partai itulah kaki politik Sukarno dalam wadah Nasakom (Nasional, Agama, Komunis).

Celakanya, ungkap Ginting, PKI yang paling diandalkan Sukarno untuk menjadi sekutu kuatnya dalam menghadapi Angkatan Darat, justru mulai terang-terangan berseberangan dengan RI 1. Itulah era tiga polarisasi kekuatan, yaitu Sukarno-PKI-Angkatan Darat.

Baca juga : Presiden PKS Instruksikan Kadernya Tonton Film G30S/PKI

Dia melanjutkan, Nasakomisasi terus digulirkan, termasuk upaya untuk memasukkannya dalam organisasi ABRI pada 1964-1965. Begitu juga soal Angkatan kelima di luar AD, AL, AU, Polri. Tentu saja yang paling getol adalah PKI, dan lagi-lagi PNI hanya bisa mengekor. Menurut Ginting, PNI tidak menolak pembentukan angkatan kelima. Kedua partai ini seperti tidak ada lagi bedanya.

Karena itu pula, kata dia, mulai terjadi bentrok antara aktivis PNI dan personel Angkatan Darat di Kalasan, Yogyakarta pada Mei 1965. Agar konflik tidak berkepanjanan, pimpinan PNI Ali Sastroamijoyo, Surahman, dan Ruslan Abdulgani menemui Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani. "Di situ Jenderal Yani mengingatkan agar PNI jangan ikut-ikutan PKI. PNI itu nasionalis bukan komunis," ujar Yani tegas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement