REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Andalas Asrinaldi mengatakan bahwa Pemerintah Pusat perlu memperhatikan netralitas TNI dan Polri ketika menjabat sebagai penjabat (pj) kepala daerah. Ikatan hierarki yang kuat antara TNI atau Polri kepada atasannya, menurut Asrinaldi, akan menyulitkan mereka untuk menjadi independen dalam menentukan kebijakan.
"Barangkali netralitas ini yang bisa menjadi perhatian ketika TNI atau Polri diminta untuk menjabat sebagai pj gubernur, bupati, atau wali kota," kata Asrinaldi ketika dihubungi oleh Antara dari Jakarta, Sabtu.
Menurutnya, ukatan tersebut menimbulkan tendensi bagi TNI dan Polri untuk mengikuti perintah atasan secara patuh, dalam hal ini Pemerintah Pusat, dan sulit untuk memberikan penolakan."Walaupun dia harus netral, sulit untuk menerapkan itu. Ada pengaruh subordinasi di sana," tutur Asrinaldi.
Hal yang berbeda berlaku pada masyarakat sipil. Tenaga pengajar Universitas Andalas ini mengatakan bahwa pejabat sipil memiliki sisi disiplin dan hierarki yang lebih fleksibel apabila dibandingkan dengan TNI dan Polri.
Sikap dan loyalitas pejabat sipil, berdasarkan pandangan Asrinaldi, akan lebih memungkinkan mereka untuk menolak arahan maupun kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan daerah yang dikepalai. Oleh karena itu, Asrinaldi menilai, apabila ia melihat dari aspek netralitas, maka masyarakat atau pejabat sipil akan lebih netral ketika menjabat sebagai pj kepala daerah jika dibandingkan dengan TNI dan Polri.
"Masyarakat sipil lebih netral dan bisa menolak (arahan yang tidak sesuai, red.). Sedangkan, di militer, khususnya TNI atau Polri akan sulit untuk menolak perintah atasan," ucap dia.
Dengan demikian, Asrinaldi berpandangan, hal yang perlu menjadi perhatian ketika TNI atau Polri menjabat sebagai pj kepala daerah adalah mengendalikan netralitas mereka, bukan mengkhawatirkan dwifungsi."Sebenarnya sudah tidak ada istilah dwifungsi. Yang harusnya khawatirkan adalah bagaimana cara memastikan mereka tetap netral," ujar Asrinaldi.