Rabu 22 Sep 2021 10:32 WIB

Jalan Terjal Dapatkan Sertifikat Halal

Halal bukan sekadar memburu kualitas, tapi mengetahui dari mana makanan itu berasal.

Antusiasme Muslimin Indonesia kepada produk halal demikian tinggi, karena pangilan sipiritual.
Foto:

Halal dipadu Filantropi, Kombinasi Kontekstual

Menyimak rilis tentang Bersama Halal Madani (BHM), lembaga ini menaungi pendirian LPH (Lembaga Pemeriksa Halal), BHM menyebutkan ”,….bergerak di bidang halal dan filantropi untuk pengembangan ekonomi mikro di Sumatra Barat”. Dengan kalimat singkat itu, saya mahfum bahwa menggerakkan filantropi (kedermawanan) sama pentingnya dengan mengkampanyekan halal ke tengah masyarakat, khususnya masyarakat Islam –seperti Sumatra Barat.

Sudah menjadi mahfum bagi publik betapa banyak bencana terutama bencana alam yang ketika ditelusuri akar masalahnya –mengapa bencana itu terjadi– disimpulkan karena masyarakat mengkonsumsi makanan yang tidak halal. Bukan sekadar memburu kualitas (makanannya) yang baik; itu termasuk mengetahui dari mana makanan itu berasal. Apa yang dikonsumsi masyarakat, dipersyaratkan “halal dan thayyib”, tidak cukup sekadar kecukupan kandungan gizinya.

Bagi saya yang pernah lama bergelut di jagat filantropi, membantu dengan dana filantropi dari masyarakat Indonesia untuk sesama masyarakat Indonesia atau masyarakat mancanegara yang dilanda bencana. Edukasi peduli halal sama pentingnya dengan edukasi kepedulian kemanusiaan.

Membantu sesama manusia di negeri sendiri, juga di negeri-negeri lainnya, sama pentingnya dengan sadar (dan peduli) kehalalan pangan. Bukan saatnya lagi bicara “yang haram saja susah apalagi yang halal”, semua sepantasya berikhtiar agar semua kita makan dan hidup hanya dari sumber yang halal, lain tidak!

Korupsi –yang masih “lestari” di Indonesia, salah satu hal yang patut diperangi pertama kali, kalau bangsa ini hendak serius bersih dari sumber penghasilan haram dan syubhat. Maka, halal dan kemanusiaan berdiri pada azas yang sama, mematuhi ketentuan langit.

Dalam soal halal, "sertifikat halal" merupakan kepastian hukum dan amanat undang-undang. UU tentang jaminan produk halal menyatakan bahwa‚‘‘produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal‘‘. Bahkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur mengenai penyelenggaraan produk halal menyebutkan bahwa prioritas penahapan sertifikasi halal dari 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2024 bagi produk makanan minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

Baca juga : Kereta Api Lokal Kembali Dioperasikan

Dalam artian keempat produk tersebut sudah harus bersertifikasi halal sebelum 17 Oktober 2024 jika beredar di wilayah Indonesia. Bahkan saat ini untuk kota Padang produk-produk yang ingin masuk mall, supermarket, atau ikut tender seperti katering, tidak bisa jika tak memiliki sertifikasi halal.

Sertifikasi halal adalah cara pemerintah melindungi masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah Muslim. Akan tetapi hal ini tidak dapat dimanfaatkan maksimal oleh kita sehingga produk yang berlabel halal yang beredar di Indonesia masih didominasi oleh produk asing.

Sebagai negeri perpenduduk Muslim terbesar, di dunia, isu halal seharusnya hal yang penting sebagai bagian inherent dalam masyarakat Muslim Indonesia, konsekuensi logis tuntutan masyarakat Indonesia. Bahkan, menjadi rujukan umat lainnya karena masyarakat Muslimnya terbesar.

Role model bagaimana halal lifestyle diterapkan, mencontoh Indonesia. Itu seharusnya, nah ini, dalam sertifikasi saja, pemohon sertifikasi yang meningkat, sementara yang dikabulkan pemerintah hanya dua LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) baru (bersama LP POM MUI, jadi hanya tiga).

Apakah ini karena pemerintah sedang trauma dengan berbagai istilah Islam seperti halal, syariah, bahkan Islam? Dengan begitu, betapa banyak kerugian umat Islam dengan kepemimpinan yang "kurang familiar“ terhadap jargon bernuansa Islam, salah satu yang dikhawatirkan, sehingga mengganjal dikabulkannya Lembaga Pemeriksa Halal /LPH Sumatra Barat.

Memastikan halal tidaknya semua yang masuk mulut Muslim negeri ini adalah persoalan serius sekaligus penentu akhir hidup kita. Apakah hidup kita diridhai atau dilaknat.

Mewujudkan cita-cita tersedianya produk makanan, minuman, obat, halal di negeri ini, menjadi salah satu pelolos seorang pemimpin menjadi penentu keamanahan di negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Sebaliknya, menyulitkan hajat Muslim (Indonesia) dalam menjalankan agamanya --termasuk mendapatkan produk pangan, minuman, obat-obatan-- sama artinya dengan menyulitkan tegaknya azas ketersediaan produk halal pangan, minuman, obat-obatan di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement