Senin 20 Sep 2021 16:49 WIB

Peneliti: Perlu Pengurangan Emisi GRK Berskala Besar

Laporan terbaru IPCC PBB memprakirakan pemanasan yang lebih cepat.

Peneliti bidang meteorologi dan klimatologi Siswanto mengingatkan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) secara segera dan berskala besar perlu dilakukan untuk menghindari kenaikan pemanasan global 1,5 derajat Celsius. (Ilustrasi Jejak Karbon atau Carbon Footprint)
Foto: pixabay
Peneliti bidang meteorologi dan klimatologi Siswanto mengingatkan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) secara segera dan berskala besar perlu dilakukan untuk menghindari kenaikan pemanasan global 1,5 derajat Celsius. (Ilustrasi Jejak Karbon atau Carbon Footprint)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti bidang meteorologi dan klimatologi Siswanto mengingatkan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) secara segera dan berskala besar perlu dilakukan untuk menghindari kenaikan pemanasan global 1,5 derajat Celsius. Siswanto mengutip laporan terbaru Panel Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) PBB yang memprakirakan pemanasan yang lebih cepat.

"Secara global akan hampir mencapai threshold (ambang batas)1,5 derajat Celsius itu kecuali kalau ada pengurangan emisi gas rumah kaca yang segera, cepat dan berskala besar," kata peneliti di Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tersebut dalam diskusi virtual tentang krisis iklim yang diadakan WALHI dan diikuti dari Jakarta pada Senin (20/9).

Baca Juga

Laporan tersebut, yang ditulis oleh 234 ilmuwan, juga menunjukkan emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia bertanggung jawab atas sekitar 1,1 derajat Celsius pemanasan sejak 1850-1900. Selain itu, rata-rata selama 20 tahun ke depan suhu global diperkirakan akan mengalami kenaikan sekitar atau melebihi 1,5 derajat Celsius.

Dalam kesempatan tersebut dia juga mengingatkan bahwa dalam laporan itu diperkirakan setiap kawasan di dunia akan mengalami dampak yang berbeda-beda, tergantung tingkat pemanasan di wilayah tersebut. "Tetapi juga yang menjadikan berbeda adalah topografi, fisiografi kemudian morfologi juga menjadikan dampak yang diterima atau respons pemanasan global ini berbeda, seperti wilayah kutub tentu akan berbeda dengan wilayah tropis," jelasnya.

Dia menegaskan, akan terjadi intensifikasi siklus hidrologi. Terkait hal itu, Indonesia berpotensi mengalami curah hujan ekstrem yang dapat mengakibatkan banjir dan sebaliknya di musim kemarau akan mengalami kekeringan yang lebih intens.

"Hal ini disebabkan intensifikasi dari siklus air atau siklus hidrologi," kata Siswanto.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement