REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Aan Kurnia menilai, Indonesia selama ini hanya secara de jure atau hukum mengeklaim wilayah perairan Laut Natuna Utara. Namun secara de facto atau tindakannya, negara hanya diam saja melihat kepemilikannya tersebut.
"Secara de facto kita hanya melongo saja kalau boleh dibilang di sini. Jadi tidak ngapa-ngapain, tapi mengklaim ini wilayah kita," ujar Aan dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (20/9).
Menurutnya, negara seharusnya lebih memanfaatkan perairan Laut Natuna Utara agar kapal asing tak masuk ke dalam wilayah Indonesia. Salah satunya dengan memanfaatkan potensi bahari di sana oleh nelayan-nelayan dalam negeri.
"Sudah ada, tapi ya masih nelayan pesisir, nelayan one day. Jadi ambil ikan hanya sehari untuk makan besok, tapi belum disiapkan secara profesional. Padahal di sana sumber daya ikannya luar biasa," ujar Aan.
Potensi yang belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh negara tersebutlah yang membuat kapal-kapal asing dari China dan Vietnam dengan mudahnya masuk ke sana. Sebab mereka tak melihat nelayan lokal memanfaatkan wilayah tersebut, yang membuat mereka juga seakan bebas tanpa ada yang mengawasi.
"Landas kontinen kita punya hak berdaulat di situ untuk manfaatkan sumber daya alam yang ada di dasarnya, tapi alhamdulilah ESDM di sana sudah lakukan drilling. Bayangkan itu kita puluhan tahun lalu, sekarang baru mulai laksanakan," ujar Aan.
Di samping itu, mengatasi masalah di Laut Natuna Utara tak hanya bisa diserahkan kepada Bakamla saja. Perlu adanya kerja sama dan koordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait lainnya untuk menjaga kedaulatan Indonesia di sana.
"Jadi yang pertama harus presence at sea (kehadiran di laut), para gakkum atau simbol negara, siapa aja? Di situ ada TNI AL, Bakamla, dan kemudian ada KKP," ujar Aan.