Selasa 14 Sep 2021 18:02 WIB

Selamat Tinggal Poster, Reklame dan Pajangan Rokok di DKI

Di Jakbar penutupan pajangan rokok baru saja dimulai programnya.

Seorang pekerja melintas di samping poster larangan merokok di dalam ruangan di salah satu kantor di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Foto: Republika/Agung Supri
Seorang pekerja melintas di samping poster larangan merokok di dalam ruangan di salah satu kantor di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mahsir Ramadhan, Antara

Program Jakarta bebas rokok dimulai dengan menyingkirkan rokok di pajangan toko dan supermarket sampai menghilangkan poster dan reklame rokok. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, upaya tersebut merupakan bagian dari program Jakarta bebas rokok.

Baca Juga

Di banyak lokasi di DKI Jakarta saat ini, memang banyak ditemui toko atau minimarket yang tidak memajang rokok. Bahkan, Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Barat (Jakbar) juga mulai menutup stiker, poster hingga pajangan produk rokok di seluruh toko kelontong, minimarket, dan supermarket di kawasan itu.

Upaya penutupan stiker hingga menghilangkan pajangan rokok diatur dalam Seruan Gubernur (Sergub) DKI Jakarta No 8 Tahun 2021, dalam rangka melakukan meningkatan perlindungan masyarakat terhadap bahaya merokok penurunan risiko penyebaran Covid-19. Dalam surat itu, Pemprov Jakarta menyerukan seluruh pengelola gedung untuk melakukan pembinaan kepada kawasan dilarang merokok di seluruh area gedung di DKI Jakarta.

Riza menerangkan aturan tersebut bukan berarti di Jakarta warganya tidak boleh merokok. Merokok dibolehkan tapi tidak bebas di mana saja, harus sesuai di tempat yang telah ditentukan. "Untuk Jakarta bebas rokok bukan berarti dilarang merokok tapi ada tempat-tempat yang diatur bisa merokok," kata Riza saat ditemui di Balai Kota DKI, Selasa (14/9).

Kasatpol PP DKI Jakarta, Arifin, tak menampik jika penutupan rokok pajangan di banyak toko baru saja dimulai. Padahal, jika mengutip Sergub No 8 Tahun 2021, larangan memajang kemasan rokok atau zat adiktif di tempat penjualan, sudah disebar sejak Juni lalu.

"Karena tadi baru ada laporan, baru kita cek, betul tidak ada. Kita baru mendapatkan informasi dan laporan adanya pemasangan iklan rokok itu di indoor," kata Arifin saat dihubungi di Jakarta, Selasa (14/9).

Dia menambahkan, kegiatan penutupan iklan roko dan yang dipajang di rak penjualan di Jakarta Barat, bukan instruksi semata. Menurut dia, hal itu untuk melaksanakan apa yang diatur dalam Pergub No 148 Tahun 2017. "Kalau bicara pergub semua dilaksanakan, setiap hari pengawasan," tuturnya.

Ditanya apakah penutupan tersebut akan dilakukan pada semua toko dalam ruangan, dia tak menjawab lebih jauh. Namun, dia mengatakan, pihaknya akan mengingatkan agar tidak adanya hal yang berkaitan dengan tayangan iklan rokok, termasuk pajangan rokok itu sendiri.

Berdasarkan Seruan Gubernur (Sergub) DKI Jakarta No 8 Tahun 2021 ada tiga poin yang dicatat, pertama, setiap area gedung di DKI wajib memasang tanda larangan merokok pada setiap pintu masuk dan lokasi yang mudah diketahui oleh setiap orang di gedung itu. Serta memastikan tidak ada yang merokok di kawasan dilarang merokok.

"Kedua, tidak menyediakan asbak dan tempat pembuangan puntung rokok dan lainnya pada kawasan dilarang merokok," lanjut surat itu.

Ketiga,  dicatat juga agar tidak memasang reklame rokok atau zat adiktif baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Termasuk, memasang kemasan atau bungkus rokok atau zat adiktif di tempat penjualan.

Pada peringatan Hari Tembakau Sedunia di bulan Mei lalu, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyatakan menargetkan lima juta orang Indonesia bisa berhenti dari kebiasaan merokok. Caranya dengan melakukan sejumlah program.

Upaya mengurangi jumlah perokok dinilai sangat penting. Di Indonesia, prevalensi perokok di kelompok usia anak-anak 10-18 tahun, kata Dante, meningkat 7,2 persen 2013 menjadi 9,1 hingga 2018. "Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang mempunyai tingkat perokok aktif yang sangat tinggi, perokok laki laki di Indonesia tertinggi nomor tiga di dunia setelah India dan China," katanya.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diadakan Kemenkes, data perokok elektronik meningkat drastis dari 1,2 persen pada 2016 menjadi 10,9 persen pada 2018. "Angka ini membuat kita prihatin karena rokok di Indonesia menjadi salah satu yang paling aktif bila dibandingkan negara lain," kata Dante.

Selain itu, kerugian ekonomi akibat rokok berdasarkan data dari 152 negara pada 2018, menunjukkan setiap tahun total kegiatan ekonomi atau pengeluaran kesehatan dan kerugian produktivitas adalah sebesar 1.436 miliar dolar AS atau sebesar Rp 20.638 triliun. "Setara dengan 1,8 persen dari PNB (pendapatan nasional bruto) tahunan dunia," kata Dante.

Dia menjelaskan, Indonesia berada pada urutan ketiga di dunia dalam hal konsumsi rokok dan kerugian akibat tembakau cukup besar, yaitu 4,9 juta kasus penyakit, 200 ribu lebih kematian berhubungan dengan tembakau dari survei yang diselenggarakan pada 2017. Sehingga bila 5 juta orang perokok berhenti dari kebiasaannya, bisa menghemat pembiayaan negara.

photo
Gubernur DKI Jakarta keluarkan seruan untuk Kawasan Dilarang Merokok - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement