Selasa 07 Sep 2021 22:12 WIB

Meningkatnya Kekerasan Terhadap Anak Saat Pandemi

Pelaku kekerasan kepada anak tak jarang dari keluarga dekat.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Hafil
Meningkatnya Kekerasan Terhadap Anak Saat Pandemi. Foto: Kampanye antikekerasan terhadap anak dan perempuan (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Meningkatnya Kekerasan Terhadap Anak Saat Pandemi. Foto: Kampanye antikekerasan terhadap anak dan perempuan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, merasa miris melihat kasus kekerasan terhadap anak tetap tinggi di masa pandemi, saat di mana mereka justru terus dekat dengan keluarga. Berdasarkan catatannya, ada 2.726 kasus kekerasan terhadap anak sejak Maret 2020 hingga Juli 2021 ini dan lebih dari setengahnya merupakan kasus kejahatan seksual.

"Pelaporan di kita itu pelanggaran hak anak itu 2.726 kasus. Ditemukan dari 2.726 kasus itu, 52 persennya didominasi oleh kejahatan seksual," ungkap Arist kepada Republika, Selasa (7/9).

Baca Juga

Dia menekankan, sebelum pandemi melanda, sejatinya angka kejahatan terhadap anak memang sudah meningkat pada 2018 hingga 2019. Pada tahun 2020 hingga 2021, jumlah kekerasan terhadap anak semakin tinggi. Angka 2.726 kasus yang ia sebutkan itu terhitung mulai Maret 2020 hingga Juni 2021.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 52 persennya merupakan kasus kekerasan seksual. Arist mengungkapkan, kasus kekerasan seksual itu bukan hanya perkosaan, tetapi juga serangan persetubuhan yang dapat berupa sodomi, hubungan seks sedarah, dan lainnya.

Kasus itu pun terjadi bukan hanya kasus orang per orang, tapi juga dilakukan secara bergerombol. Bahkan kekerasan seksual itu dilakukan oleh orang terdekat mereka, yakni bapak atau pamannya.

"52 persen itu didominasi kasus kejahatan seksual seperti itu. Serangan persetubuhan, penetrasi itu juga dilakukan bukan hanya orang per orang. Ada yang bergerombol juga, istilanya gang rape, perkosaan massal," kata Arist.

Arist merasa miris hal tersebut terjadi di saat anak-anak justru lebih dekat dengan keluarganya di masa pandemi. Semestinya, apabila orang tua benar-benar menghargai anak yang juga memiliki hak, maka adanya pandemi atau tidak tindak kekerasan terhadap anak tak akan terjadi.

"Penyebabnya itu ya bahwa anak itu dianggap properti, dianggap milik. Jadi suka-suka orang tua. Bukan disebut anak itu titipan Tuhan," jelas dia.

Melihat itu semua dia menyatakan, tak ada alasan bagi para orang tua untuk tak memberikan hak anak meski tengah berada di masa pandemi. Pemerintah, kata dia, harus mendukung masyarakat dengan membuat gerakan perlindungan anak berbasis keluarga dan komunitas.

"Pemerintah masing-masing daerah mengajak masyarakat membangun gerakan perlindungan anak yang berbasis rumah dan komunitas. Jadi masing-masing komunitas itu peduli. Supaya dia bisa monitoring, evaluasi, melihat apa yang terjadi di kampungnya, di tetangganya," kata dia.

Sementara itu, Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPA) juga mengakui tren angka jumlah kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan. Namun, peningkatan tersebut dinyatakan tidak begitu signifikan pada masa pandemi ini jika dibandingkan dengan 2020 dan 2019.

"Trennya ini meningkat, tapi tidak signifikan atau relatif sama dengan tahun-tahun sebelum pandemi," ungkap Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, kepada Republika, Selasa (7/9).

Dia menjelaskan, pada 2019, total kasus kekerasan terhadap anak ada sebanyak 11.057 dengan jumlah korban 12.285 anak. Kemudian pada 2020, total kasusnya meningkat menjadi 11.278 dengan jumlah korban yang juga meningkat menjadi 12.425. Sementara pada 2021, hingga Juli 2021 terdapat 7.089 kasus dengan 7.784 korban.

"Kalau (data tahun ini) disandingkan dengan 2019 dari total kasus itu sudah 65,46 persen," kata dia.

Menurut Nahar, hal-hal yang memengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak di masa pandemi ini antara lain aktivitas yang terpusat di rumah. Di saat-saat seperti itu, efek pandemi yang salah satunya hilangnya pekerjaan membuat tingkat stress di keluarga semakin meningkat.

"Kemudian ada juga beberapa kasus muncul misalnya ibu yang tidak punya kemampuan untuk mendampingi putra putrinya lalu kemudian emosi. Bahkan bukan hanya kekerasan fisik biasa, ada meninggal dunia juga," kata dia.

Dia juga mengatakan, angka kasus tersebut tetap tinggi karena beberapa alasan. Salah satunya, masyarakat yang sudah semakin memahami isu perlindungan anak. Sehingga ketika mereka melihat atau mendengar ada kekerasan terhadap anak, mereka bisa segera melaporkan kasus tersebut.

"Jadi ini kepedulian masyarakat sudah cukup baiklah merespons kasus kekerasan yang ditemui," kata dia.

Nahar mengatakan, pihaknya terus meningkatkan upaya pencegahan kekerasan terhadap anak. Dia menjelaskan, KemenPPA melakukan penyempurnaan regulasi yang dirasa dibutuhkan oleh masyarakat. Kemudian, pendataan terus dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan setelah banyaknya orang tua yang wafat akibat Covid-19.

"Pasca-Idul Fitri di bulan Juli angka kematian tinggi. Kita mengkhawatirkan hal-hal buruk dihadapi oleh anak-anak Indonesia yang kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya," tutur dia.

Semua itu, kata Nahar, dilakukan bersamaan dengan sosialisasi program-program perlindungan anak, mulai dari hak anak, apa saja yang dapat dilakukan untuk melindungi anak. Itu dilakukan kepada orang tua, anak, dan juga masyarakat umum.

"Keluarga juga diberikan pemahaman bagaimana melindungi anak, mengasuh anak, menyiapkan tumbuh kembang anak, dan menjamin hak hidup dan perlindungannya bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya," terang Nahar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement