REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Pemodelan Lingkungan, Ibnu Susanto Joyosemito dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) menilai, Indonesia belum saatnya mengubah status pandemi Covid-19 menjadi endemi karena jumlah kasus aktif masih cukup tinggi. Dia berharap, pemerintah sedikit bersabar untuk mewujudkan wacana tersebut sampai situasi terkontrol agar ledakan kasus tidak kembali terjadi.
Menurut Ibnu, ada beberapa alasan yang perlu menjadi pertimbangan. Sesuai dengan prediksi model yang ia kembangkan sebelumnya, puncak pandemi gelombang kedua memang benar terjadi pada akhir Juli 2021. Namun, menurut dia, penurunan jumlah kasus aktif pada awal September baru berada pada level yang sama dengan puncak gelombang pertama, yang artinya belum berada pada titik aman.
“Jadi saya sangat menyarankan agar pemerintah tidak terburu-buru mengumumkan pandemi menjadi endemi meskipun negara-negara lain sudah melakukannya,” ujar Ibnu melalui keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin (6/9).
Lebih lanjut, Ibnu yang juga aktif sebagai anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jakarta itu memaparkan bahwa pada akhir Desember 2021 pandemi Covid-19 di Indonesia diprediksi sudah dapat terkontrol dengan besaran kasus aktif berada pada rentang 6.406 sampai 14.432, atau rata-rata kasus 10.150.
Namun, menurut Ibnu, kebijakan vaksinasi harus tetap konsisten dilaksanakan sesuai target tanpa perlu memilih jenis vaksin yang digunakan agar tercipta herd immunity, sehingga membantu proses pengendalian Covid-19. Pelaksanaan PPKM pun perlu dilanjutkan terutama di daerah yang masih tinggi kasusnya.
Dia menambahkan, walaupun vaksin penting tapi tidak ada satupun yang melindungi 100 persen, sehingga masyarakat juga harus konsisten menjalankan protokol kesehatan. “Jika itu semua berjalan baik, maka saya perkirakan pandemi dapat berubah menjadi endemi pada pertengahan tahun 2022,” kata Ibnu.