REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR, Al Muzzammil Yusuf meminta Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) melakukan pengkajian serius terhadap fenomena munculnya buzzer politik saat ini. Muzammil mengaku tidak antipati dengan buzzer jika mereka berdiskusi dengan kacamata ilmiah dan argumentasi yang benar.
Ia khawatir para buzzer yang keluar dari jalur itu menghukum orang-orang yang cerdas. "Saya menyarankan untuk membuat kajian yang serius, jangan dibiarkan karena tidak ada pembenaran dari aturan apa pun untuk mereka," kata Muzammil dalam rapat dengar pendapat dengan Gubernur Lemhannas dan Sekjen Wantannas bersama Komisi I DPR di Gedung Senayan, Jakarta, Kamis (2/9).
Muzammil mencontohkan perilaku buzzer tersebut. Pada Februari 2020 terjadi keramaian di media sosial dan media massa bahwa seorang profesor di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang baru dilantik, mengangkat satu wacana ideologi dengan membenturkan dengan agama. "Saya kira perlu dikaji oleh Lemhanas dalam konteks pengkaderan pemimpin bangsa. Pernyataan para pejabat negara, khususnya pemerintahan, itu masuk dalam ranah ideologi dan demokrasi," kata Muzammil.
Berikutnya, muncul kembali ketika tes wawasan kebangsaan (TWK) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membenturkan Pancasila dengan agama dan Pancasila dengan Islam. "Itu dimunculkan lembaga negara, dan para buzzer menyambut dengan pro dan kontra, yang pro bahkan berani pada isu penistaan agama," kata Muzammil.
Menurut dia, buzzer itu tidak bekerja sendiri, bahkan ada yang disebut kakak pembina. Selain itu, mereka yang dekat dengan pemerintah sampai sekarang pun tidak tersentuh hukum. Dalam konteks buzzer di Indonesia, menurut Muzammil, telah masuk dimensi ideologi, muncul dimensi politik, kemudian masuk ke dimensi hukum.
Bahkan, lanjut dia, didukung digital informasi dengan internet sudah menjangkau 73 persen wilayah Indonesia, wacana yang dipropagandakan para buzzer menyebar begitu cepat.