REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar menegaskan, tidak boleh ada mahasiswa yang di-drop out (DO) hanya karena kesulitan biaya akibat dampak pandemi. Dia sepakat dengan tuntutan mahasiswa agar semua anggaran pendidikan di masa pandemi Covid-19 difokuskan untuk menjamin keberlanjutan pendidikan.
“Saat ini yang penting bagaimana penyelenggaraan pendidikan baik di level dasar, menengah, dan tinggi bisa dilanjutkan. Tidak ada yang putus kuliah, tidak boleh ada mahasiswa yang harus drop out karena persoalan biaya,” ujar Abdul Muhaimin Iskandar saat dialog nasional dengan mahasiswa bertajuk 'Pandemi Tak Henti, UKT Kian Tinggi', Rabu (1/9) malam. Konsekuensinya, kata dia, alokasi anggaran untuk pembangunan fisik yang tidak substantif sebaiknya dihentikan sementara.
Dalam dialog ini hadir Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia Wahyu Suryono Pratama, dan Koordinator Pusat DEMA PTKIN se-Indonesia Onky Fachrul Rozie. Selain itu dialog yang dilakukan secara virtual tersebut diikuti perwakilan BEM/DEMA dari ratusan kampus di Indonesia.
Gus Muhaimin, sapaan akrab Abdul Muhaimin Iskandar, mengatakan, situasi pandemi saat ini memberikan dampak luar biasa bagi setiap lini kehidupan bernegara. Pandemi yang berlangsung hampir dua tahun ini juga membuat anggaran negara terkuras untuk membiayai pemulihan ekonomi, penanganan kesehatan, maupun mengurangi dampak sosial.
“Kami meminta Komisi X menyisir anggaran pendidikan 20 persen APBN harus difokuskan pada program anggarn yang tepat sasaran. Biaya kuliah harus jadi prioritas, kebutuhan dasar harus diutamakan dibandingkan dengan kegiatan lain yang tidak relevan pada penyelenggaran pendidikan di masa pandemi,” katanya.
Gus Muhaimin menilai, saat ini memang banyak dijumpai kasus mahasiswa yang kesulitan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Padahal di satu sisi pemerintah telah mengalokasikan skema bantuan UKT bagi mahasiswa.
“Kami berharap agar persoalan UKT ini bisa segera diselesaikan. Lakukan terus koordinasi dengan para pemangku kepentingan. Baik mengomunikasikan melalui Komisi X agar tersampaikan kepada Kemendikbudristek maupun kepada rektorat sehingga kasus-kasus UKT di lapangan bisa terselesaikan dengan baik,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Gus Muhaimin mengaku kaget saat mengetahui ada lima mahasiswa di Madura yang ditahan setelah melakukan unjuk rasa terkait UKT. Dalam waktu dekat dirinya akan berkoordinasi dengan Kapolri untuk mencari jalan terbaik menyelesaikan kasus hukum lima mahasiswa tersebut.
“Saya cek ke Kapolri agar mereka yang ditahan di Madura segera dibebaskan. Karena mereka tidak boleh dilanjutkan karena mereka harus menjadi pemimpin ide,” katanya.
Ke depan, Gus Muhaimin berpesan agar konsep kuliah online terus dimatangkan. Menurutnya, di masa depan kuliah online khususnya untuk pendidikan tinggi menjadi sistem yang tidak bisa terpisahkan. “Kuliah online harus terus diperbaiki karena ke depannya diprediksi menjadi model Pendidikan ke depan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi X Syaiful Huda sepakat dengan pandangan Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar untuk menajamkan penggunaan alokasi 20 persen dana pendidikan APBN untuk fungsi pendidikan. Menurutnya, saat ini sebagian besar alokasi dana pendidikan diwujudkan dalam bentuk dana alokasi khusus (DAK) yang belum tentu penggunaanya untuk fungsi pendidikan.
“Isu-isu besar yang diamanatkan oleh Pak Muhaimin seperti refocusing ulang anggaran pendidikan 20 persen APBN memang harus segera ditindaklanjuti. Karena faktanya dari 20 persen dana pendidikan, hanya Rp 85 triliun dikelola Kemendikbud dan Rp 55 triliun dikelola Kemenag. Sisanya Rp 370 triliun jadi DAK (Dana Alokasi Khusus) diserahkan ke pemerintah daerah. Kami tidak bisa mengontrol penggunaannya,” katanya.
Huda mengatakan, saat ini Komisi X DPR RI berusaha mendorong Kemendikbud dan Kemenag agar seluruh atau minimal 50 persen dari total anggaran fungsi pendidikan bisa dikelola oleh Kemendikbud/Kemenag. Solusi yang ditawarkan adalah ‘Money Follow Student’ sehingga indeks biaya pemerintah diberikan langsung kepada mahasiswa dengan tujuan meminimalisasi fragmentasi atau diskriminasi antara sekolah negeri dengan sekolah swasta.
“Kami berharap konsep 'money follow student' ini bisa diakomodasi dalam revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang saat ini sedang dimatangkan di Komisi X,” katanya.