REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menyampaikan pidato kebangsaan bertajuk '#Indonesia Jalan Tengah, Indonesia Milik Semua' dalam rangka kemerdekaan Indonesia ke-76, pada Senin (30/8) secara daring. Dalam kesempatan itu Haedar menyinggung soal amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang kini kembali menyeruak.
Haedar menuturkan, kini tumbuh kembali gagasan amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kerendahan hati, dia mengajak, agar gagasan itu dipikirkan dengan hikmah kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan yang otentik.
"Belajarlah dari empat kali amendemen di awal reformasi yang mengandung sejumlah kebaikan dan kemajuan, tapi menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan jati dirinya yang asli," tutur Haedar.
Dia juga mengingatkan, jangan sampai di balik gagasan amendemen ini memuat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang bisa menambah berat kehidupan bangsa dan menyalahi spirit reformasi 1998. Bahkan, lebih krusial lagi jika sampai bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang-bangun oleh para pendiri bangsa 76 tahun yang lalu.
"Di sinilah pentingnya hikmah kebijaksanaan para elite negeri di dalam dan luar pemerintahan dalam membawa bahtera Indonesia menuju pantai idaman, Indonesia yang bukan sekadar ragad fisik. Tetapi menurut Mister Soepomo, Indonesia yang bernyawa. Itulah Indonesia jalan tengah dan Indonesia milik bersama," ujarnya.
Haedar juga menyoroti isu kontroversial di antaranya mengenai tes wawasan kebangsaan, survei lingkungan belajar, dan lomba tentang hukum menghormati bendera. Dia menyampaikan, semua itu semestinya dihindari jika ingin meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lain, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), UUD 1945 dan Kebinekaan sebagai ideologi jalan tengah yang moderat.
"Jika ingin menjalankan Pancasila yang moderat maka strategi membangun dan mengembangkan pemikiran ke-Indonesia-an pun semestinya menempuh jalan moderat. Bukan melalui pendekatan kontraradikal atau deradikalisme yang ekstrem," ungkapnya.
Haedar menuturkan, segala paham radikal-ekstrem tidak sejalan dengan Pancasila. Dalam menghadapi paham tersebut pun tidak semestinya pula dengan cara yang radikal-ekstrem yang sama. Karena, selain akan melahirkan radikal-ekstrem yang baru, pada saat yang sama bertentangan dengan jiwa Pancasila yang moderat.
"Pikiran-pikiran loyalis dan kritis yang hidup di tubuh bangsa Indonesia seyogianya mengandung pikiran dan cara-cara moderat dan tidak berparadigma radikal-ekstrem. Inilah jiwa dan karakter Indonesia berdasarkan Pancasila yang moderat, Indonesia jalan tengah," paparnya.