REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sebanyak 8.000 dari 193.000 peserta BPJS Kesehatan kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI)-Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Kota Bogor, Jawa Barat, dihapuskan. Ribuan peserta tersebut dihapuskan dari layanan BPJS Kesehatan lantaran adanya ketidaksepadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
Kabid Penanganan Fakir Miskin dan Jaminan Sosial pada Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bogor, Okto Muhamad Ikhsan mengatakan, data tersebut ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada awal Agustus lalu. Temuan data ganda tersebut, sudah terdaftar di BPJS Kesehatan.
"Jadi yang dihapuskan itu, NIK-nya tidak padan di Disdukcapil, temuan BPK itu. Mereka dihapuskan dulu, nanti didaftarkan lagi dengan cara NIK-nya dipadankan dulu dengan Dukcapil,” kata Okto kepada Republika, Ahad (29/8).
Dalam hal ini, Okto mengatakan, Dinsos, Dinkes, dan Disdukcapil Kota Bogor selalu berkolaborasi. Sehingga, meskipun dihapuskan, para peserta PBI-APBD tersebut dapat mendaftar kembali ke layanan BPJS Kesehatan, asal memadankan NIK masing-masing terlebih dahulu di Disdukcapil Kota Bogor.
Setelah memadankan NIK dengan e-KTP, sambung dia, baru masyarakat yang datanya dihapuskan bisa kembali mendaftar ke BPJS Kesehatan sebagai PBI-APBD, melalui aplikasi Solid milik Dinsos Kota Bogor. Saat ini, kartu BPJS Kesehatan milik masyarakat yang datanya dihapuskan, untuk sementara dinonaktifkan dulu tanpa pemberitahuan.
Sehingga, lanjut Okto, jika mereka membutuhkan pelayanan kesehatan secara mendesak, Dinkes Kota Bogor dapat memberi layanan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Meski demikian, masyarakat harus mendaftarkan diri kembali sebagai peserta BPJS Kesehatan kategori PBI-APBD untuk ke depannya, karena Jamkesda hanya bisa digunakan satu kali. Sementara, rumah sakit juga tidak boleh menolak pasien dari golongan apapun.
"Kalau mereka butuh mendesak, bisa pakai Jamkesda, tapi harus punya bukti daftar sebagai peserta PBI-APBD. Tapi kalau butuh selanjutnya, enggak pakai Jamkesda lagi, tapi pakai kartu PBI-APBD yang sudah terdaftar lagi dan valid," kata Okto.
Terkait biaya yang sudah dibayar oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor melalui APBD, Okto menegaskan, 8.000 data yang dihapuskan tersebut memang layak bayar. Hanya saja, data yang terdaftar tidak sepadan dengan data di Disdukcapil Kota Bogor.
Dari kuota 200.000 peserta PBI-APBD yang disediakan di Kota Bogor, 193.000 di antaranya sudah terdaftar oleh masyarakat, termasuk 8.000 data yang dihapuskan. Dalam satu bulan, biaya yang dibayarkan untuk Kelas III BPJS Kesehatan sekitar Rp 35 ribu untuk setiap peserta.
Sehingga, sambung dia, Pemkot Bogor bukan membayar sebanyak dua kali lipat untuk data ganda. Lantaran, 8.000 data yang dihapuskan memang peserta yang layak menerima manfaat.
"Jadi yang sudah dibayar saat itu memang valid, berlaku bukan NIK, tapi kartu BPJS-nya. Mungkin dipakai terus dan dibayar terus dari APBD. Jadi saat BPK sanding NIK tidak padan makanya dihapuskan," kata dia menjelaskan.
Ketua Komisi IV DPRD Kota Bogor, Said Muhamad Mohan menyoroti adanya temuan data ganda dari BPK tersebut. Dia mengatakan, hal ini tentunya menjadi sorotan khusus karena adanya ancaman dimana para penerima PBI-APBD yang berhak akan tercoret namanya karena masalah data antar dua instansi yang tidak terintegrasi.
"Dengan tidak terkoneksinya data mereka ke Solid, maka ada kemungkinan data ganda. Kami minta jaminan dari BPJS kesehatan agar bisa mengintegrasikan ini, sehingga data yang diberi dari dinsos lewat aplikasi solid bisa linear dengan data penerima dan NIK dari Disdukcapil," kata Mohan.
Terkait temuan-temuan yang muncul, Mohan mengatakan akan terus memonitor hal ini agar masyarakat bisa mendapatkan manfaat yang jelas dari APBD Kota Bogor.
"Kita sudah melihat hasil temuan BPK, kita akan pantau proses perbaikannya. Karena ada juga kekhawatiran tentang kemungkinan double bayar antara peserta Mandiri dan PBI," kata dia.