REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Novita Intan, Lida Puspaningtyas
Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan II tahun 2021 turun. Pada akhir triwulan II ULN sebesar 415,1 miliar dolar AS atau Rp 5.977 triliun dengan kurs 14.400 per dolar AS, turun 0,1% dibandingkan dengan triwulan I 2021 sebesar 415,3 miliar dolar AS atau Rp 5.980 triliun.
Secara tahunan, menurut BI, pertumbuhan ULN triwulan II 2021 juga melambat, dari 7,2% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 1,9% (yoy). Perkembangan tersebut didorong oleh perlambatan pertumbuhan ULN emerintah dan kontraksi ULN swasta.
BI menyatakan ULN pemerintah tumbuh lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Posisi ULN Pemerintah pada triwulan II 2021 mencapai 205,0 miliar dolar AS atau tumbuh 4,3% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan pada triwulan I 2021 sebesar 12,6% (yoy).
Perkembangan ini disebabkan oleh penurunan posisi pinjaman luar negeri (loan) seiring dengan pelunasan atas pinjaman yang jatuh tempo selama triwulan II 2021. Pelunasan pinjaman luar negeri tersebut menjadi bagian penting dalam menjaga kredibilitas pemerintah dalam mengelola ULN.
ULN swasta menurun dibandingkan triwulan sebelumnya. ULN swasta mengalami kontraksi sebesar 0,5% (yoy) pada triwulan II 2021, setelah pada triwulan I 2021 tumbuh positif sebesar 2,6% (yoy).
BI menjelaskan turunnya utang swasta ini disebabkan oleh kontraksi pertumbuhan ULN lembaga keuangan sebesar 6,8% (yoy), lebih dalam dari kontraksi triwulan sebelumnya sebesar 6,7% (yoy).
Selain itu, pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan mengalami perlambatan sebesar 1,3% (yoy) dari 5,4% (yoy) pada triwulan I 2021. Dengan perkembangan tersebut, posisi ULN swasta pada triwulan II 2021 tercatat sebesar 207,2 miliar dolar AS, atau menurun 0,8 (qtq) dibandingkan dengan posisi triwulan sebelumnya.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
ULN Indonesia pada triwulan II 2021, kata Erwin, tetap terkendali, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga di kisaran 37,5%, menurun dibandingkan dengan rasio pada triwulan sebelumnya sebesar 39,0%.
Selain itu, sambung dia, struktur ULN Indonesia tetap sehat, ditunjukkan oleh ULN Indonesia yang tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang, dengan pangsa mencapai 88,4% dari total ULN.
Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Erwin menyatakan Bank Indonesia dan pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
Peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Ancaman Jebolnya Banjir Utang
Mantan menteri keuangan Fuad Bawazier menyatakan kekhawatirannya atas pelebaran defisit utang dan makin naiknya utang Indonesia. Fuad membandingkan krisis moneter 1998 dengan krisis pandemi saat ini yang serupa tapi tak sama.
Saat krisis moneter 1998, kata Fuad, Indonesia termasuk kelompok negara terakhir yang keluar dari krisis. "Sekarang pun sepertinya kita akan sering mengalami resesi ekonomi, dan bisa jadi negara terakhir juga yang keluar pandemi," kata Fuad, awal Agustus lalu.
Kebijakan pemerintah dia nilai tidak stabil sehingga menyebabkan efek krisis ekonomi yang berkepanjangan. Penanganan pandemi yang setengah-setengah membuat dana APBN yang dihimpun dari hutang pun menjadi 'mubazir'.
Belum lagi penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 di daerah yang sangat minim. Ditambah dengan kebocoran fatal karena korupsi. Ini membuat roda ekonomi tidak berputar seperti yang diharapkan, sementara hutang sangat bengkak.
"Utang itu lama-kelamaan bisa jebol, ini akan terjadi krisis gagal bayar," katanya.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengingatkan pemerintah agar hati-hati dalam menjaga rasio utang pada batas aman. Puan mengatakan, rasio utang harus berada pada batas aman dan sesuai dengan undang-undang (UU) serta menjaga portofolio utang yang optimal.
Ia mengingatkan agar pemerintah memperhatikan APBN untuk masa yang akan datang, agar utang fokus pada kegiatan ekonomi produktif.
Puan mewanti-wanti pemerintah mengenai defisit APBN. Ia berharap pemerintah melakukan berbagai upaya di tengah kondisi APBN yang mengalami penurunan pendapatan negara, meningkatnya belanja untuk penanganan pandemi, dan melebarnya pembiayaan defisit.
Utang yang Selamatkan Ekonomi Saat Pandemi
Pemerintah menyebut utang merupakan salah satu instrumen untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian pada masa pandemi Covid-19. Hal ini mengingat APBN mengalami pelebaran defisit, sehingga membutuhkan pembiayaan yang salah satunya bersumber dari utang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, APBN menanggung beban selama pandemi Covid-19. Dari satu sisi, belanja negara melonjak untuk penanganan kesehatan, pemberian bantuan sosial kepada masyarakat terdampak, bantuan kepada dunia usaha, dan lainnya.
"Kenapa kita harus menambah utang? Seolah-olah menambah utang menjadi tujuan. Padahal, utang merupakan instrumen untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian kita," kata Sri Mulyani, akhir Juli lalu.
Saat ini penerimaan negara mengalami penurunan karena aktivitas ekonomi lesu. Pemerintah di berbagai negara menggunakan kebijakan luar biasa (extraordinary) karena pandemi Covid-19 merupakan tantangan yang sifatnya luar biasa.