Jumat 20 Aug 2021 17:07 WIB

Mural Kritis dan Janji Kebebasan Berekspresi

Presiden diminta memastikan kritik tidak akan berujung tindakan reaktif.

Pembuat mural 404: Not Found di Kota Tangerang, Banten, diburu polisi dan pembuat sablon 404: Not Found d Tuban, Jawa Timur, didatangi polisi untuk diamankan.
Foto: Istimewa
Pembuat mural 404: Not Found di Kota Tangerang, Banten, diburu polisi dan pembuat sablon 404: Not Found d Tuban, Jawa Timur, didatangi polisi untuk diamankan.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Febrianto Adi Saputro, Haura Hafizhah, Ali Mansur, Eva Rianti

Aksi reaktif aparat kepolisian menyikapi mural-mural bernuansa kritis yang betebaran di sejumlah daerah dipandang sebagai tindakan yang berlebih-lebihan. Kebebasan berekspresi pasalnya merupakan tindakan yang dilindungi hukum di Indonesia.

Baca Juga

Deputi Direktur Amnesty Indonesia Wirya Adiwena meminta, pemerintah menjamin kebebasan warga negaranya untuk menyampaikan kritik dan pendapat dalam bentuk, dan media apapun. Kata Wirya, karya-karya mural tersebut, adalah salah satu bentuk berekspresi warga negara dalam menyampaikan pendapat.

Amnesty menegaskan, kebebasan berekspresi serta menyampaikan pendapat, dilindungi undang-undang, sebagai bagian dari pengakuan terhadap hak asasi manusia (HAM). Pun diakui dalam hukum internasional, serta konstitusi di Indonesia.

“Tindakan kepolisian, dan aparat negara (pemerintah) sangat berlebihan. Termasuk sangat berlebihan dengan mencari pembuatnya. Karena sangat mengancam hak-hak warga negara, atas kebebasan berekspresi, dan berpendapat,” kata Wirya dalam siaran pers Amnesty yang diterima wartawan di Jakarta, Jumat (20/8).

Pernyataan Amnesty tersebut, menyikapi penghapusan paksa oleh kepolisian, dan aparat pemerintah atas mural mirip muka Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang ditempel tulisan, ‘404: Not Found, dan penghapusan paksa lukisan dinding, bertema ‘Dipaksa Sehat di Negara Sakit’, serta ‘Tuhan Aku Lapar’, dan lain-lain. Sampai saat ini, kepolisian menyatakan masih mencari pelukis mural-mural tersebut, untuk pertanggungjawaban, karena dianggap provokatif, dan menghina lambang negara.

Sementara di Tuban, Jawa Timur (Jatim), kepolisian setempat menangkap pengusaha konveksi, yang mendagangkan kaos-kaos bermotif sablon mural-mural tersebut. Kepolisian membawa penjual oblong tersebut ke kantor polisi, dan meminta maaf terbuka melalui video.

Menurut Amnesty, cara-cara kepolisian dan aparat pemerintah tersebut, tak lain adalah bentuk pembungkaman terhadap kritik masyarakat. “Meskipun orang yang dituduh terlibat pembuatan karya-karya tersebut sejauh ini belum dijadikan tersangka, mengamankan, dan memaksa seseorang untuk meminta maaf secara publik hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai, menciptakan efek gentar yang membuat warga negara enggan untuk mengungkapkan pendapat yang kritis. Suasana seperti ini semakin menggerus ruang kebebasan berekspresi di Indonesia,” ujar Wirya.

Padahal, dikatakan Wirya, Presiden Jokowi, dalam pidato kenegaraannya dalam sidang tahunan MPR RI 2021 menegaskan, kritik terhadap pemerintah sebagai unsur penting dalam bernegara. “Presiden beserta jajarannya harus memastikan bahwa aparat penegakan hukum di lapangan, juga mengerti hal tersebut. Jika tidak, maka pernyataan tersebut hanya sebatas lip service saja,” kata Wirya.

Institute Criminal Justice Reform (ICJR) juga menilai ada kesewenang-wenangan dalam kasus penjualan kaus kritik Presiden di Tuban. ICJR minta Presiden mengevaluasi kinerja Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.

"Presiden yang pada pidato kenegeraan 16 Agustus 2021 juga panjang lebar bicara soal kritik dan demokrasi harus melakukan evaluasi terhadap Kapolri atas tindakan sewenang-wenang oleh aparat yang melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat yang semakin marak terjadi," kata Peneliti ICJR Iftitahsari, dalam keterangan tertulis, Jumat (20/8).

Kemudian, ia melanjutkan sebagai aparat penegak hukum, polisi lebih-lebih juga tidak dibenarkan memberikan penghukuman terhadap warga dalam bentuk apapun yang tidak sesuai dengan prosedur hukum acara pidana. "Perlu diingat, pasal penghinaan presiden dalam KUHP telah dicabut oleh MK, sehingga apabila polisi menilai tindakan warga tersebut adalah penghinaan Presiden, maka seharusnya menunggu adanya aduan secara individu dari Presiden Jokowi, maka tindakan langsung yang tidak berdasar oleh kepolisian tersebut adalah jelas termasuk tindakan sewenang-wenang," kata dia.

Selain itu, ia juga meminta agar Komisi III DPR RI memanggil Kapolri untuk mempertanyakan tindakan sewenang-wenang aparat yang melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara yang terus berulang di lapangan. "Peran DPR RI dalam hal ini sangat penting untuk menjaga keberlangsungan demokrasi di negara Indonesia," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement