Jumat 20 Aug 2021 10:47 WIB

PPHN Dinilai Melemahkan Demokrasi Presidensial

Posisi MPR akan lebih tinggi dari presiden jika GBHN harus dipatuhi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus raharjo
 Buka puasa bersama Pimpinan Lembaga Tinggi Negara bersama Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (19/6).  (dok. MPR RI)
Buka puasa bersama Pimpinan Lembaga Tinggi Negara bersama Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (19/6). (dok. MPR RI)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Guru Besar Ilmu Politik Fisip UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Saiful Mujani, mengkritisi rencana MPR mengamendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurutnya adanya rencana MPR menghadirkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau yang kini dipopulerkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) justru memperlemah demokrasi presidensial.

"Hakikat demokrasi presidensial adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat, presiden diberi mandat langsung oleh rakyat untuk menjadi pemimpin eksekutif, untuk membuat dan menjalankan program yang dijanjikan dalam kampanye, dengan masa berkuasa yang fixed. Presiden setara dengan DPR dan DPD karena sama-sama dipilih rakyat, ketiganya tidak boleh saling menjatuhkan," kata Saiful dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (20/8).

Saiful mengatakan, kalau MPR membuat GBHN yang harus dipatuhi presiden, maka posisi MPR di atas presiden. Hal tersebut menurutnya menyalahi demokrasi karena mandat yang diberikan rakyat kepada anggota MPR setara dengan mandat yang diberikan kepada presiden. "Tidak boleh ada yang lebih berwenang menurut dasar demokrasi mereka," ujarnya.

Pendiri Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) tersebut menambahkan, jika presiden dipilih MPR, maka itu menyalahi prinsip demokrasi presidensial karena presiden bergantung pada MPR. Menurutnya GBHN dan pemilihan presiden oleh MPR itu mengubur demokrasi presidensialisme saat ini.

"Amendemen untuk menghidupkan GBHN dan peran MPR memilih presiden harus dilawan," tegasnya. Ia memahami amendemen merupakan langkah konstitusional. Namun Ia mempertanyakan maksud dan tujuan amandemen tersebut.

"Ukurannya adalah apakah amendemen yang dilakukan akan memperkuat sistem politik kita atau tidak, memperkuat demokrasi atau tidak. Apakah amendemen yang dilakukan akan memperkuat demokrasi presidensial kita atau tidak," ujar Saiful.

Ia memandang demokrasi presidensial saat ini sudah jauh lebih baik. Sebab demokrasi parlementer di masa lalu sudah gagal. Selain itu Demokrasi MPR-isme juga gagal dalam menciptakan stabilitas politik dan kemudian gagal dalam pembangunan. "Pengalaman gagal demokrasi parlementer 1945-1959, pengalaman gagal MPR-isme 1959-1966, pengalaman MPRS-isme otoritarian Orde Baru, pengalaman MPRS-isme demokratis 2001, Gus Dur jatuh," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement