Kamis 19 Aug 2021 14:31 WIB
Lebaran Anak Yatim

Anak Jadi Yatim Piatu Sebelum Wafatnya Ayah dan Ibu

Banyak anak jadi yatim piatu karena ayah dan ibunya sibuk dan tak memberi perhatian.

Berbagi dengan anak yatim (ilustrasi).
Foto:

Oleh : Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika

Lantas bagaimana bisa seorang anak menjadi yatim piatu walau bapak dan ibunya masih hidup? Alasannya karena anak itu tidak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya yang terlalu sibuk dengan urusan dunia.

Kita mungkin akan tersindir jika membaca syair dari seorang pujangga Mesir, Ahmad Syauqi. Ia menyebut anak yatim bukanlah anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya, tetapi karena kedua orang tuanya sibuk dan tidak mengurusi anak-anaknya.

"Bukanlah anak yatim yang kedua orang tuanya telah tiada; (Telah tiada) dari kehidupan dunia, lalu meninggalkan anak tersebut dalam keadaan hina; Akan tetapi, anak yatim adalah anak yang kau dapati; Ibunya tidak mempedulikannya atau ayahnya sibuk tidak mau mengurusnya," tulis pujangga berjuluk Amir al-Syu’ara’ (si raja penyair) itu.

Tidak sedikit anak yang di rumahnya kehilangan sosok ayah sebagai panutan karena sang ayah tidak memiliki waktu bahkan untuk sekadar mendengarkan cerita anaknya. Ayah dan ibu terpenjara dengan godaan dunia. Ayah sibuk bekerja di depan laptop dan HP, sibuk dengan hobinya seperti sepedahan, memancing, futsalan, sampai lihat-lihat foto di media sosial. Sementara ibu sibuk arisan, belanja di toko online, nonton drama Korea, drama Jepang, atau film India. Sementara pekerjaan rumah dan urusan anak-anak diserahkan kepada asisten rumah tangga.

Situasi yang jauh lebih pelik terkadang dihadapi anak-anak yang orang tuanya mengalami perceraian. Apalagi jika dalam perpisahan tersebut terjadi perselisihan, sehingga menimbulkan trauma dan mengganggu pertumbuhan hidup anak tersebut. Kesibukan membuat anak-anak kehilangan figur ibu yang penuh kasih serta figur ayah yang mengajarkan tentang bagaimana caranya berjuang untuk hidup.

photo
Sejumlah anak yatim piatu yang mendapatkan bantuan di bulan Ramadhan (ilustrasi). - (Republika/Agung Supriyanto)

 

 

Dari sederet risiko yang ditimbulkan karena anak kehilangan sosok orang tua adalah anak akan mencari sumber pengakuan bagi dirinya di tempat yang salah. Anak juga tidak akan dapat mengimitasi sosok laki-laki melalui ayahnya. Sehingga anak laki-laki tidak akan tahu bagaimana caranya menjadi laki-laki, dan anak perempuan akan kehilangan panutan bagaimana cara menjadi seorang ibu yang lemah lembut.

Studi penelitian BL Hoeg dan teman-temannya yang diterbitkan di Journal of Health Psychology 2016 menunjukkan anak-anak yang kehilangan figur orang tua cenderung mudah depresi, cemas, suka menyiksa diri, menyalahgunakan obat-obatan, hingga makan berlebihan. Penelitian lainnya oleh Kirk Patrick di Journal of Personality and Social Psychology menyebutkan anak-anak yang ditinggal orang tua ketika masih kecil bisa jadi sukses secara sosial, finansial, menikmati hidup berkualitas, sehat secara fisik. Namun tidak sehat secara mental.

Maka jangan buru-buru misuh-misuh ketika kita menemukan anak-anak, baik teman anak kita, atau mungkin kita memiliki teman semasa sekolah yang banyak tingkah di luar rumahnya hanya agar menjadi populer di kalangan teman-temannya. Bisa jadi mereka tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya yang hanya punya sedikit waktu ketika bertemu anak di rumah.

Karena itu, ketika mendapatkan kerabat atau keluarga yang kehilangan sosok orang tua, ada baiknya kita sedikitnya ikut merangkul anak tersebut. Jangan sampai situasi tersebut mengganggu tumbuh kembang anak tersebut. Namun, hal terpenting dalam momentum lebaran anak yatim hari ini adalah jangan sampai kita sebagai orang tua menjadikan anak-anak kita jadi yatim piatu sebelum kita meninggal dunia.

Jangan pula lupakan anak-anak yatim piatu di sekitar kita. Kerabat, tetangga, atau bahkan keponakan jika ada. Jangan hanya memberi santunan, tapi juga berikan kasih sayang.

Selama pandemi Covid-19, Kementerian Sosial mencatat 11.405 anak-anak menjadi yatim piatu akibat orangtuanya meninggal dunia. Menjadi anak yatim di kala normal saja sudah sulit, apalagi ketika pandemi.

Saya yang menjadi anak yatim ketika usia belasan tahun, tahu betul bagaimana rasanya kehilangan sosok seorang ayah. Selepas saya kuliah, ibu cerita kalau beliau sedih ketika saya mendapatkan santunan. Perekonomian keluarga saya yang cukup ketika itu membuat ibu sedih, karena merasa "dikasihani". Saat itu ibu masih bekerja sebagai guru, dan kakak-kakak saya juga sudah bekerja, sehingga ibu memilih mengembalikan uang santunan untuk saya dan meminta mengirimkan ke anak-anak yatim piatu lain yang keluarganya lebih membutuhkan.

Menjadi anak yatim memang bukan hanya mengganggu secara finansial, tetapi juga akan menerpa mental. Pengalaman itulah yang membuat ibu mengajarkan anak-anaknya untuk tidak melupakan anak-anak yatim.

Gali lagi empati kita, jangan pula mempertontonkan kebahagiaan di depan anak-anak yatim, seperti mengundang anak-anak yatim atau datang ke yayasan anak yatim untuk merayakan ulang tahun anak kita (merayakan ulang tahun juga tidak ada di dalam ajaran Islam). Di balik niat baik tersebut bisa jadi ada anak yatim yang hatinya menjadi sedih dan teringat orang tuanya karena menonton kebahagiaan keluarga orang lain.

Jangan biarkan air mata mereka mengalir terlalu sering. Jangan biarkan kesedihan merangkul mereka terlalu lama. Mari kita bersama-sama menjadi penghapus air mata, menjadi selimut saat mereka dirundung duka. Sedikit rejeki yang kita hadiahkan untuk mereka semoga mampu menjaga nyala api semangat ketika mereka sebatang kara kehilangan orang tua.

Seperti sabda Rasulullah, "Barang siapa mengusap kepala anak yatim (dengan penuh kasih sayang) karena semata-mata mengharap ridha Allah, maka setiap rambut yang diusap berpahala sekian kebaikan, dan barang siapa memelihara/mengasuh anak yatim, maka kedudukannya di surga berada di sisiku seperti halnya jari telunjuk dan jari tengah."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement