Senin 16 Aug 2021 10:33 WIB

Berawal Mimpi, Menuju Rumah Sakit Syariah Berbasis Teknologi

Pada masa depan cara penyembuhan penyakit akan bersifat individual.

Ketua Umum Yayasan Yarsi Prof Jurnalis Uddin bercerita bahwa awal­nya kampus itu hanya berdiri sebagai Perguruan Tinggi Kedokteran (PTK) Yarsi pada 15 April 1967 dengan satu program studi kedokteran.
Foto: Yarsi
Ketua Umum Yayasan Yarsi Prof Jurnalis Uddin bercerita bahwa awal­nya kampus itu hanya berdiri sebagai Perguruan Tinggi Kedokteran (PTK) Yarsi pada 15 April 1967 dengan satu program studi kedokteran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangunan universitas dan rumah sakit Ya­ya­san YARSI ter­lihat megah di jalan Letnan Jenderal Suprapto, Cem­pa­ka Putih Jakarta Pusat. Gedung se­­tinggi 16 lantai tersebut tampak gagah dibanding bangunan di sekitarnya.

Universitas Yarsi memiliki cerita panjang sejak awal berdiri hingga saat ini. Awalnya, pendirian kampus itu berangkat dari masalah usaha untuk me­menuhi kebutuhan tenaga dan pelayanan medis secara Islam di Indo­nesia.

Ketua Umum Yayasan Yarsi Prof Jurnalis Uddin bercerita bahwa awal­nya kampus itu hanya berdiri sebagai Perguruan Tinggi Kedokteran (PTK) Yarsi pada 15 April 1967 dengan satu program studi kedokteran. Dua tahun be­rikutnya, berubah nama jadi Se­kolah Tinggi Kedokteran (STK) Yarsi.

Prof Jurnalis bercerita, pada ajang konferensi mengenai Islam di Jakarta sekitar 1965, salah satu pesertanya sakit hingga mesti dilarikan ke rumah sakit. Akan tetapi peserta konferensi itu menolak dirawat karena RS yang dituju yaitu RS Katolik.

Dari situ Prof Jurnalis me­nyim­pulkan bahwa ada kebutuhan lem­baga pendidikan kedokteran dan ru­mah sakit yang dikelola lembaga Islam di Ibu Kota yang belum ter­pe­nuhi. Karenanya, dia pun kemudian ber­mim­pi STK Yarsi dapat memberi kesem­patan calon mahasiswa mem­peroleh pendidikan kedokteran de­ngan bekal iman Islam.

photo
Gedung Yayasan Yarsi. - (Yarsi)

 

Akan tetapi, rencana Prof Jurnalis tak berjalan mulus. Rekan-rekannya sulit menerima ide yang ditawarkan. Bahkan sebagian menganggap ide ter­sebut sangat sulit terealisasi karena biaya yang mahal.

"Waktu lihat belum ada fakultas Kedokteran Islam di Jakarta, maka saya ajak kawan-kawan. Jawabannya, 'mana bisa?', karena biayanya besar. Kalau soal uang, tergantung yang di atas. Kita harus ada wadahnya dulu," kenang Prof Jurnalis saat berbincang dengan Re­publika pada Senin (9/8).

Hingga akhirnya tiga dosen Fa­kul­tas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), yaitu Ali Akbar, Asri Rasad, dan Maksum Saleh Nasution sepakat membantu Prof Jurnalis yang juga mengajar di tempat yang sama. Karena ini pula STK YARSI dan FKUI memiliki hubungan tersendiri.

Bahkan pengembangan STK Yarsi pun tak lepas dari dukungan FKUI. Bentuk dukungannya berupa pe­ma­kaian semua ruang kuliah dan la­boratorium beserta peralatannya. Kon­disi ini berlangsung sampai 1970-1971 saat gedung kampus Yarsi dibangun.

Prof Jurnalis mengakui kalau da­na terbukti menjadi tantangan dalam mendirikan Yarsi. Dia bahkan sempat tak punya dana untuk mem­bangun kampus yang sudah dirancang. Tapi rasa optimisme Prof Jurnalis me­men­tahkan kesulitan itu satu per satu.

Prof Jurnalis tak menyangka bahwa bantuan akan datang dari ma­na saja. Bahkan dari orang yang tak begitu dikenalnya. Dia juga meng­ung­kapkan sempat menjual aset pribadi dan milik istri demi memenuhi ke­kurangan dana Yarsi. "Allah SWT se­lalu menunjukkan berbagai cara yang tidak terduga untuk memberi jalan keluar," ungkap pria kelahiran 10 Juli itu.

Prof Jurnalis dengan bangga meng­isahkan peletakan batu pertama pem­bangunan Yarsi dilakukan Tien Soeharto dan Fatmawati Soekarno pada 15 April 1968 yang merupakan hari jadi PTK Yarsi. Peristiwa ini menjadi tong­gak penting karena menandakan keseriusan Yarsi.

Dulu, tambah dia, lahan seluas 2,5 hektare yang kini ditempati Yarsi me­rupakan sawah dengan ketinggian dua meter di bawah permukaan jalan raya. Sehingga tak ada yang melirik potensi lahan di sana. Tapi Prof Jurnalis ber­pikir jauh ke depan. Benar saja, pilihan lahan tak salah karena letaknya stra­tegis dan harganya telah melam­bung jauh saat ini.

Proses pematangan lahan sawah hingga siap dibangun terjadi berkat kecerdikan dan kejelian Prof Jurnalis. Dia memanfaatkan lumpur dari pro­yek pencegahan banjir Jakarta untuk me­ngurug sawah secara gratis. Ke­mudian Yarsi mendapat pembo­rong untuk pengerjaan beberapa gedung se­men­tara dan ruang kerja walau tanpa kon­trak.

"Saya lihat ke de­pannya di sini le­bih baik posisinya. Ka­rena ada di de­pan," ujar dokter berusia 84 tahun itu.

Di sisi lain, Prof Jurnalis menya­dari dunia medis terus berkembang seiring kemajuan teknologi. Dia pun tak ingin Yarsi ketinggalan hingga turut fokus pada penelitian. Salah satunya pene­litian mengenai genetik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement